Ada T-rex di Museum Geologi Bandung


3 Januari 2006 @ Bandung

Museum ini lokasinya sangat strategis, karena letaknya di pusat kota. Sehingga mudah dilalui kendaraan umum dari berbagai arah. Lokasinya 200 meter di sebelah gedung sate. Bebeberapa informasi yang bisa diketahui, bila berkunjung ke sana, diantaranya mengenai sejarah kehidupan di muka bumi, keadaan geologi di Indonesia, dan manfaat geologi bagi manusia. Ketika masih kuliah dulu, belum pernah saya mengunjungi museum ini, baru kali menyempatkan diri. Satu hal yang sangat disayangkan, padahal dengan mengujungi museum ini, paling tidak bisa menstimulus dalam mengkaji ilmu-ilmu yang sedang dipelajari. Sengaja ke tempat ini, karena Adriel senang banget dengan yang namanya Dinosaurus. Dan ternyata di tempat ini ada beberapa koleksi hewan yang sudah punah tersebut, di antaranya T-Rex, Triceratops, dll. Adriel yang lebih banyak afal mengenai nama-nama ini. Saya sendiri tidak begitu afal.

Menurut buku panduan Museum Geologi Bandung yang saya beli, bahwa berdirinya museum geologi ini erat kaitannya dengan sejarah penelitian geologi di Indonesia sejak 1850 oleh Dienst van het Mijnwezen yang berkedudukan di Bogor (1852-1866). Lembaga ini kemudian pindah ke Jakarta (1866-1924), dan pada tahun 1924 pindah lagi ke Bandung, di Gedung Gouvernment Bedrijven (sekarang Gedung Sate). Dan tahun 1928 dibangun secara khusus gedung yang diperuntukan bagi Laboratorium dan Museum Geologi di Rembrant Straat yang sekarang disebut Jl. Diponegoro.

Terowongan di Green Canyon


2 Januari 2006 @ Cijulang

Hari ke-3 kami sekeluarga bertualang ke alam Green Canyon. Daerah ini dikenal juga dengan wisata terowongan berair. Merupakan aliran sungai Cijulang yang menembus gua dengan stalaktit dan stalaknit yang mempesona dan diapit oleh dua bukit dan bebatuan dan rimbunnya pepohonan. Lokasinya adalah sekitar 31 km sebelah barat pantai Pangandaran, tepatnya adalah di daerah Cijulang desa Kertajaya. Objek wisata ini mulai dibuka untuk umum sejak tahun 1990 dan dikembangkan menjadi objek wisata pada tahun 1991. Pada awalnya tempat ini oleh masyarakat setempat disebut dengan Cukang Taneuh (Jembatan Tanah), karena di atasnya merupakan jembatan yang menghubungkan desa Batu Karas dengan desa Kertajaya. Nama Green Canyon sendiri berasal dari turis asing yang pada tahun 1990, minta dipandu menyusuri sungai ini mulai dari jembatan desa Cijulang hingga ke hulu. Turis tersebut mengatakan bahwa tempat ini seperti Grand Canyon di Amerika Serikat. Selain itu, karena memang air sungai Cijulang yang mengalir melalui terowongan itu katanya berwarna hijau bening, sehingga tidak salah memang jika disebut lembah hijau atau Green Canyon.

Setelah perjalanan kurang lebih 45 menit dari Pangandaran akhirnya kami sampai juga di Dermaga Ciseureh, setelah terlewat. Karena memang tulisan Green Canyon tidak menghadap arah kendaraan yang lewat, melainkan sejajar dengan posisi jalan raya Cijulang – Pangandaran. Sehingga untuk yang baru pertama kali, pasti akan terlewat, apalagi saat itu suasana cukup sepi. Kami parkirkan kendaraan di tempat parkir di seberang jalan dermaga. Areal parkir cukup luas, dan banyak sekali kios-kios penjual makanan .

Setiap perahu maksimal hanya dapat dinaiki oleh 5 orang penumpang, seharga Rp 70.000,- termasuk Jasa Raharja dan Asuransi. Karena rombongan berjumlah 9 orang termasuk Adriel dan Debby, akhirnya kami menyewa 2 perahu. Selama kurang lebih 25 menit perahu tempel, yang kami tumpangi sampai di hulu tebing cadas yang berjarak sekitar 3 km sebagai tempat pemberhentian perahu.

Selanjutnya adalah berjalan kaki menaiki tebing pertama. Di tempat ini kami dapat menyaksikan keindahan tebing-tebing terjal yang penuh dengan stalaktit. Dinding cadas yang ditumbuhi lumut berwarna kehijauan mengapit dan membentuk celah sungai

Hanya saja sayang ketika kami kesana, cuaca sedang tidak bersahabat, sehingga air yang biasanya hijau, saat itu berwarna kuning coklat. Menurut pemandu, seharusnya kita dapat menyusuri batu cadas yang ada di pinggir-pinggir kali sepanjang tepian sungai. Akhirnya cukup puas kalau perjalanan kali ini hanya sampai di mulut batu cadas saja. Keindahan Green Canyon ini hanya dapat dinikmati pada musim kemarau saja, sebab pada musim hujan air sungai meluap dan terowongan Green Canyon akan terendam oleh air berwarna cokelat.

Cagar Alam Pananjung


1 Jan 2006 @ Pananjung


Untuk masuk ke Taman Wisata Alam Pananjung bisa ditempuh dengan dua cara yaitu lewat darat di pantai timur dan melalui laut di pantai barat. Pada perjalanan saat ini kami melalui laut dari Pantai Barat, dengan menyewa perahu sebesar Rp 40.000,-
Sebelum mendarat di pasir putih, nakhoda perahu menghentikan mesin dan mempersilahkan penumpang melongok ke bawah permukaan air untuk melihat berbagai jenis ikan hias. Sungguh panaroma bawah laut yang sangat indah.
Taman Wisata Alam (TWA) seluas 37,7 Ha, termasuk dalam Cagar Alam yang luasnya 530 Ha dan berada dalam pengelolaan SBKSDA Jawa Barat II. Cagar Alam ini memiliki berbagai flora dan fauna langka di antaranya adalah Raflesia padma, Rusa, dan berbagai jenis Kera.
Dulunya menurut literature, binatang penghuni cagar alam ini cukup beragam, di antaranya adalah kancil, ular, biawak, landak, ayam hutan dan banteng. Sayang saat ini sudah tidak terlihat lagi.

Ketika kami sampai di Pantai Pasir Putih, kami melanjutkan perjalanan ke tengah hutan. Ada beberapa ekor rusa dan juga monyet sempat kami lihat di sepanjang perjalanan.
Di dalam hutan terdapat beberapa gua di antaranya adalah Gua Panggung, Gua Lanang, Sumur Mudal, Keramat dan Rengganis. Cagar Alam Pananjung saat ini sebetulnya lebih rimbun dibanding 16 tahun yang lalu, ketika saya melakukan study konservasi sumber daya alam bersama rekan-rekan mahasiswa Biologi seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia.. Beberapa ekosistem masih terlihat utuh. Beberapa jenis tumbuhan laut seperti waru laut, nyamplung, dan ketapang masih nampak belum berubah.

TWA ini disahkan dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 170/Kpsts/Um/3/1978, 10 Maret 1978, yang memang diperuntukan keperluan rekreasi. Pembuatan TWA ini juga dimaksudkan untuk memberi batas yang jelas kepada masyarakat, daerah yang boleh dikunjungi dan daerah yang tidak. Sebab pada sisi dalam TWA terdapat Cagar Alam Pananjung yang hanya boleh dimasuki jika ada ijin tertulis dari BKSDA Jawa Barat II, berdasarkan SK Menteri Pertanian No 34/KMP/1961.

Selesai mengelilingi hutan, akhirnya kami kembali ke Pasir Putih berisitirahat sambil menunggu perahu yang akan menjemput. Tempat yang agak sepi dibanding Pantai Barat Pangandaran. Angin yang sejuk di antara dedaunan yang rimbun, memang mengasyikan untuk tiduran. Adriel yang sejak tadi berenang di pantai, belum juga beranjak. Padahal sinar matahari sangat panas menyegat. Sambil sesekali berteriak agar menepi dulu. Tapi tetap saja tidak beranjak. Pantainya sih landai sehingga sangat aman untuk anak-anak berenang. Hanya saja, kalau berenang jam 15.00 wib, bisa hitam tuch badan. Debby sendiri lebih asyi bermain pasir dengan mamahnya sambil minum air kelapa. Saya sendiri lebih suka tiduran di sebelah warung makanan.
Sayang waktunya sudah sore, ketika kami hendak pulang dan sempat melihat-lihat pantai di sebelah kanan ternyata banyak orang yang menyelam melihat-lihat pemadangan bawah laut. Tetapi berhubung perahu sudah menjemput dan juga waktunya yang sudah agak sore. Akhirnya kami tidak sempat menikmati kegiatan menyelam tersebut.