Fort Rotterdam di Makassar

Semula saya tidak kepikiran untuk ke sini. Maklum saya adalah penikmat alam, bukan penikmat wisata budaya. Tetapi mumpung di Makassar, tidak ada salahnya juga dinikmati. Maksud hati hendak keliling-keliling dengan Panther-nya kantor cabang. Eh, bingung tidak tahu jalan, muternya ke situ lagi, ke situ lagi. Yah sudah, turun saja di depan depot penjual es kelapa. Dan tidak sengaja mata saya tertuju ke bangunan seperti benteng, yang belakangan bernama Fort Rotterdam. Saya amat amati dari kejauhan. Bentuknya aneh, penasaran akhirnya saya masuki gedung tersebut, tepat pkl 16.50 wib.

Fort Rotterdam (Benteng Ujung Pandang) adalah salah satu obyek wisata budaya di Makassar. Bentuknya seperti kura-kura yang menjalar ke laut ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-10, yaitu Tunipallangga Ulaweng. Lokasinya tepat di depan dermaga rekreasi Pulau Kayangan. Menurut cerita, dulunya benteng ini merupakan pusat tentara Belanda pada masa pendudukan Jepang. Saat ini gedung tersebut dijadikan sebagai museum. Benteng yang berukuran seluas musim Fatahilah Jakarta ini letaknya di depan pelabuhan laut kota Makassar. Bentuknya sangat mencolok yang berbeda dengan bangunan di sekitarnya. Temboknya tebal dengan tinggi kurang lebih 5 meter. Pintu utamanya berukuran kecil yang dijaga oleh beberapa Satpam. Ketika saya masuk, tidak dipungut bayaran. Bangunan di dalamnya di isi oleh rumah panggung khas Gowa di mana raja dan keluarga menetap di dalamnya.
Pada tahun 1666 terjadi perang antara raja Gowa yang menguasai benteng tersebut dengan Belanda yang dipimpin oleh Speelman. Selama kurang lebih satu tahun benteng digempur yang berakhir dengan kekalahan raja Gowa. Kekalahan tersebut akhirnya memaksa Raja Gowa menandatangani Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Isi benteng di dalamnya yang semula hancur porakporanda, kemudian dibangun dan ditata kembali. Benteng tersebut dirubah namanya menjadi Fort Rotterdam, yang merupakan tempat kelahiran Gubernur Jenderal Belanda Cornelis Speelman.

Bantimurung : The Kingdom of Butterfly

Menurut saya, Bantimurung adalah wisata alam paling menarik di antara tempat wisata lain yang pernah saya kunjungi sebelumnya. Tidak salah, jika Alfred Russel Wallace (1823-1931) dalam bukunya “The Malay Archipelago” menyebut kawasan ini sebagai “The Kingdom of Butterfly”.
Ada 3 hal menarik yang saya jumpai di sana. Pertama, air terjun yang sangat bagus, air yang jernih, dan hulu sungai yang tampak alami. Kedua, tempatnya bersih yang dikelilingi oleh pegunungan Karst. Ketiga adalah kupu-kupu.
Meskipun tidak sebanyak ketika Wallace berkunjung pada tahun 1857. Ketika saya ke sana hanya puluhan ekor masih terlihat berseiweran. Hanya saja dari jenis-jenis yang umum dijumpai, alias yang bukan dilindungi. Menurut informasi, seharusnya masih ada 250 jenis kupu-kupu yang hidup di Bantimurung tetapi sekarang tinggal separuhnya. Berkurangnya populasi diduga adanya perburuan liar, karena tingginya permintaan ekspor. Untuk yang berpikir pendek, sepertinya berburu di alam, lebih praktis ketimbang mengembangbiakannya. Padahal the kingdom of butterfly ini punya potensi nilai jual yang tinggi sebagai kawasan wisata alam yan sangat menarik, jika dikelola dengan baik. Kesadaran untuk menjaga habitat oleh masyarakat sekitar adalah hal utama yang seharusnya mendapat perhatian. Saat ini di daerah hilir sedang dimarakkan penangkaran kupu-kupu sebagai upaya restorasi populasi. Demikian juga tidak jauh dari pintu masuk kawasan wisata Bantimurung, BKSDA Sulsel I telah mendirikan sebuah penangkaran kupu-kupu. Meskipun ukuran penangkarannya sangat mini untuk sebuah balai konservasi, upaya itu patut dihargai di tengah berbagai ancaman kepunahan kupu- kupu (http://www.kompas.com, tgl 30 Juli 2005). Tetapi ketika saya berkunjung ke sini, kondisi penangkaran tersebut, sudah tidak terurus lagi. Atapnya sudah terbuka, tidak lagi untuk disebut sebagai tempat penangkaran. Sayang.
Kupu-kupu langka yang saat ini sudah sulit ditemukan di habitat alaminya. Justru banyak terlihat di tempat penjaja kupu-kupu awetan. Kalau perburuan liar ini dibiarkan terus menerus, sebutan the kingdom of butterfly di Bantimurung tidak lama lagi hanyalah tinggal sebuah kenangan.
Selain sebagai tempatnya kupu-kupu, Bantimurung pun dikenal dengan air terjunnya yang sangat bagus. Airnya jernih, nampak vegetasi di sekelilingnya masih alami. Sayang dipinggir-pinggir sungai sudah ada bangunan saluran-saluran air yang justru merusak kealamian tempat tersebut. Di bagian hulu sungai adalah tempat yang benar-benar sangat bagus. Tempat ini, mengingatkan saya pada sebuah film "Jurassic Park" tempat mendaratnya helikopter si pemilik Taman. Sekelilingnya adalah pegunungan Karts. Berlebihan? ya pokoknya kurang lebih begitulah. Dari air terjun ke lokasi sini berjarak sekitar 800 mtr. Saya berencana sekali lagi ke tempat ini.

Kuliner di Makassar

Beberapa lokasi kuliner favorite yang sempat saya coba selama berkunjung di Makassar, di antaranya adalah :
Makan kepala ikan kakap merah di Warung Mappanyukki, Pallumara Kepala Ikan Kakap Merah. Lokasinya di Jl. H.A. Mappanyukki No.36 C Telp 0411-5204505.
Wah enak banget. Kalau Pak Bondan pernah ke sini, pasti dibilang ma’nyos banget. Warungnya sederhana, yang terletak dipinggir jalan. Tetapi kalau mau nyaman lagi bisa juga mendatangi rumahnya langsung yang terletak di belakang warungnya. Walaupun sempit, lebih lumayan dibanding di pinggir jalan.
Tidak mahal, per kepala ikan kakap merah ukuran jumbo Cuma Rp 15.000,-. Selama di Makassar, dua kali saya kunjungi tempat ini.

Lokasi favorite kedua, adalah :
Coto Makassar Aroma Daeng Bagadang di Jl. Karunrung No 8.
Harganya murah banget, bayangkan semangkok coto cuma Rp 3.500,-. Sedangkan ketupatnya Cuma Rp 500,- Bagaimana dia bisa ngambil untungnya? Makanya tidak heran selama saya kesana, tempatnya selalu penuh sesak dikunjungi orang. Selain murah juga plus gratis air es yang ditempatkan di mug stenlis. Semula saya pikir untuk air cuci tangan, eh rupanya untuk air minum. Karena murahnya itu sehingga banyak dikunjungi orang. Selama di Makassar, sudah dua kali saya kunjungi tempat tersebut.

Lokasi favorite ketiga, adalah :
Makan ikan bakar di Warung Lae Lae di Jl. Datumeseng No. 8 Telp 334326. Tidak terlalu mahal, ikannya pun segar-segar. Ukuran kecil sejenis ikan Sunu Rp 10.000,-, ikan Katamba ukuran sedang Rp 12.500,-. Di tambah lalapan dan sayur asam 2 mangkok untuk tiga orang, total cuma Rp 55.500,-. Di sini memang ikannya aneh-aneh, biasanya kita kenal Cuma baronang, kakap. Di sini ada ikan titang, papakulu, bolu, kaneke. Lia, cepa, lamuru, salamata. Dan belakangan saya baru tahu, bahwa ikan yang saya pesan namanya adalah Sunu dan Katamba. Dua kali saya mengunjungi tempat ini.

Mie kering khas arang
Untuk jenis makanan ini saya memang tidak begitu suka. Tetapi saya coba juga porsi kecil, walaupun pada akhirnya tidak habis. Untuk orang yang suka, mungkin enak. Karena pembelinya pun banyak. Nama restorannya adalah Mie Yanto Khas Arang, lokasinya di Jl. Botolempong (sebelah hotel Lidyana, tempat saya menginap). Ukuran 1 porsi kecil Rp 11.000,-. Walaupun tidak begitu suka, saya sudah dua kali mengujunginya. Maklum kalau malam suka lapar, jadi tinggal jalan ke sebelah.

Jalangkote
Ini juga makanan yang tidak begitu saya suka. Cuma tetap saya coba, siapa tahu saya jadi ketagihan. Eh rupanya memang saya tidak suka. Tetapi yang beli kesini banyak, sepertinya memang enak untuk orang yang doyan. Biasanya yang beli dalam jumlah banyak untuk oleh-oleh. Lokasinya di Jl. Lansirang. Dan menurut informasi bahwa Jalangkote Lansirang adalah yang pertama kali ada di Jl tersebut. Selain jalangkote juga tersedia lumpia.

Nasi campur
Ini dia makanan khas Makassar yang lain, yang kebetulan saya juga tidak begitu suka. Masa sudah makan nasi, pakai ubi juga. Aneh kan? Tetapi saya coba juga, barangkali nasi campur di Makassar berbeda dengan di Jakarta. Tetapi rupanya memang sama persis, hanya ada sedikit tambahan kacang panjang yang diiris pendek. Apakah namanya akan berubah jadi kacang pendek? Tetap kacang panjang! Lagian mana ada kacang pendek!
Lokasinya di Jl. Bali, harganya Rp 12.000,-