Ngeteh yuk ...

Kebetulan saja, kemarin saya ada janji dengan seorang kawan yang di kantornya akan pasang jaringan data. Kami mendiskusikan upaya mewujudkan rencana tersebut, bersama dengan salah satu provider yang kami usulkan kepadanya.

Jadilah kami berempat mengadakan pertemuan tersebut sepulang dari kantor, di kawasan Kelapa Gading. Beberapa pertimbangan, mengapa mengadakan pertemuan di luar kantor. Kalau diadakan di kantor sepertinya tidak enak, karena ini tidak menyangkut pekerjaan di kantor saya.

Tempat yang saya pilih adalah The Tea Gallery, tepatnya di jalan Boulevar Kelapa Gading level groundshop 38. Semula memang janjiannya di Starbuck, tetapi karena saya tidak biasa ngopi, akhirnya diputuskan untuk memilih nge-teh, yang kebetulan letaknya tidak jauh dari starbuck. Sekalian hunting tempat tongkrongan baru. Dan rupanya memang tempatnya enak dan nyaman.

Ada sekitar 200-an jenis teh yang ditawarkan, yang menunya terletak di salah satu sisi dinding, sangat menarik. Menikmati teh, memang tidak seenak minum kopi. Pahit dan sedikit wewangian khas teh di campur bunga-bunga-an yang saya tidak tahu persis jenisnya, tergantung dari jenis teh yang dipilih. Tetapi yang pasti bahan dasar teh ini berasal dari tanaman yang disebut Camelia sinensis, yang menghasilkan beberapa produk varian seperti oolong tea, white tea, green tea, dan black tea. Atau campuran dari selain C sinensis, seperti dari herbal tea dan fruit tisane (rempah-rempahan, bunga dan buah).

Ketika disodorkan menu dalam buku hijau mungil yang cantik, saya agak bingung juga untuk memilih. Maklum sebelumnya tidak pernah ke sini. Tetapi agar tidak kelihatan norak, saya asal tunjuk saja, yaitu osmanthus dan mini tuo cha.

Beberapa menit kemudian, seorang pelayan membawa sebuah poci kaca yang berisi air teh panas, yang siap dituangkan ke dalam cangkir. Rasanya memang sedikit aneh ada rasa wangi bunga, sehingga untuk sementara saya masih belum bisa menikmati, ketimbang teh yang tadi siang saya minum di Mangga Dua Mall, teh Upet, manis dan sepet.

Ketimbang minum kopi, minum teh ternyata lebih banyak manfaatnya untuk kesehatan tubuh, di antaranya adalah dapat mengurangi resiko kanker, mencegah penurunan system kekebalan tubuh, mencegah penyakit jantung, stroke, dan prostat. Hal ini disebabkan senyawa antioksidan di dalam the yang disebut polyphenol dan enzim polifenol oksidase yang mampu melawan kanker. Selain itu daun teh juga banyak mengandung vitamin, di antaranya : Vitamin B kompleks, C, dan E yang mampu memperkuat daya tahan tubuh dan juga menunda penuaan. Daun teh juga mengandung fluoride yang memperkuat gigi.
Penelitian terakhir, seperti yang ditulis oleh Dr David Gozal dan koleganya di University of Louisville School of Medicine di Kentucky dalam American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, May 15, 2008 bahwa zat aktif yang ada di dalam teh hijau dapat menangkal kerusakan saraf akibat gangguan napas pada mereka yang mengalami gangguan tidur. Gangguan tidur ini menyebabkan terhalangnya saluran napas, sehingga napas terhenti tiba-tiba sepanjang tidur malam, hingga beberapa kali.

Sebagai informasi, bahwa ada beberapa macam jenis teh, perbedaan ini terletak pada metoda pemrosesan setelah daun teh di petik, di antaranya adalah Green Tea, di hasilkan dari pucuk teh yang dikeringkan secara langsung tanpa tahap pelayuan, sehingga enzim polifenol oksidase menjadi inaktif, mengandung polifenol jenis epigalokatekin galat (EGG); The oolong, dihasilkan dari pucuk teh yang dilayukan sekitar 1-2 jam; dan Black Tea, dihasilkan dari pucuk the yang dilayukan sekitar 6 jam, mengandung pofenol jenis tehaflavin galat (TFG).

Melihat manfaat ini, sepertinya saya memang harus merubah kebiasaan yang selama ini selalu minum air putih, untuk membiasakan minum teh.

Ada apa dengan badak Jawa?

Berkunjung Ke Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), seperti tidak ada artinya jika tidak membahas tentang Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) yang saat ini jumlahnya hanya sekitar 55 ekor saja. Dulu, kabarnya badak ini tersebar di Jawa seperti Gunung Slamet, Kedu, Wonosobo, Rembang, Nusa Kambangan, Gunung Ciremai, Priangan Selatan, Pelabuhan Ratu, Telaga Warna, dan Garut serta Sumatra Selatan. Tetapi saat ini keberadaan hewan tersebut hanya ada di TNUK. Sehingga tidak heran jika TNUK saat ini menjadi satu-satunya tempat di dunia yang menjadi rumah terakhir bagi badak Jawa, yang dijadikan sebagai kawasan konservasi dan World Heritage Site yang ditetapkan oleh Komisi Warisan Dunia UNESCO.

Sifatnya yang soliter dan sangat peka terhadap kehadiran manusia membuat badak ini sangat sulit ditemui. Bahkan penduduk yang sudah bertahun-tahun tinggal di sini pun belum tentu pernah ketemu hewan bercula tersebut.

Dari jaman saya kuliah dulu hingga saat ini ternyata jumlah tersebut belum juga bertambah. Mengapa sih jumlahnya tetap segitu, apakah ada yang salah dalam pengelolaan? Atau bisa jadi penelitian WWF dan Yayasan Rhino itu memang benar, bahwa ada persaingan antara banteng dan badak dalam sediaan makanan. Tetapi masa sih, hutan yang begitu luas, tidak mampu menampung hewan yang jumlahnya menurut saya belum seberapa itu?. Nampaknya sampai saat ini masih menjadi tanda tanya.

Oh ya, ada cerita lucu, bahwa ternyata kadang-kadang penduduk di sini suka menggunakan kotoran badak untuk dijadikan rokok. Jadi kotoran badak itu diisap ke mulutnya, katanya harum hmmm …

Sore itu, kami kembali ke Jakarta, tetapi tidak lagi ke Taman Jaya, melainkan melalui langsung Sumur. Sampai di rumah sudah dini hari, pukul 00.30 wib, karena langsung menjemput anak-anak saya yang saya titipkan di rumah orang tua. hi hi hi … dasar orang tua geblek.
(Photo di atas diambil dari situsnya Departemen Kehutanan, kalau tidak salah yang photo Allan Compost?, betul enggak ya?).
Perjalanan kami selanjutnya, adalah padang penggembalaan Cidaon, rencananya sih mau melihat kumpulan banteng (Bos javanicus) yang sedang merumput. Untuk memasuki kawasan ini rupanya harus membayar lebih dulu di pos penjagaan Balai Taman Nasional Ujung Kulon Resort Peucang, sebesar Rp 10.000,- . Dengan menggunakan kapal motor kami menyeberangi laut sekitar 20 menit, akhirnya sampailah di dermaga Cidaon.

Sesuai ketentuan TNUK bahwa, untuk memasuki kawasan ini, pengunjung harus di antar oleh pemandu setempat. Kami trekking dari dermaga menuju padang penggembalaan, yang rupanya tidak terlalu jauh, hanya butuh kurang lebih 10 menit perjalanan saja.

Sesampainya di sini, saya menaiki menara pengintai yang tingginya kurang lebih 5 meter-an. Dari menara pengintai ini seharusnya saya bisa melihat kawanan banteng. Namun sayang sekali, mungkin karena waktu yang tidak tepat, kami tidak melihat seekor pun banteng yang nongol. Rupanya untuk melihatnya, harus sore hari. Kekecewaan tersebut terobati dengan adanya beberapa ekor burung merak yang sempat terlihat dari kejauhan. Bagi saya, melihat burung merak sudah sering, tetapi melihat di habitat alaminya, tentu merupakan kejadian langka.

Menurut informasi, bahwa jumlah populasi Banteng di TNUK, pada tahun 1970 yang dicatat oleh Hoogerwerf berjumlah 100 ekor. Tahun 1978 jumlahnya meningkat menjadi 200 ekor (Blower dan Zon, 1978), kemudian bertambah lagi menjadi 748 ekor (TNUK, 1984), dan pada tahun 1997 penelitian yang dilakukan oleh Dr. Harini tercatat sudah mencapai 905 ekor.

Kabarnya, menurut informasi penelitian terakhir yang dilakukan oleh Yayasan Mitra Rhino dan WWF di sini, bahwa besarnya jumlah populasi banteng ternyata mempengaruhi laju perkembangbiakan badak Jawa (Rhino sondaicus), yang menjadi primadona TNUK. Persaingan ini diduga diakibatkan oleh menyusutnya padang penggembalaan dan bertambahnya populasi banteng, sehingga perilaku makan banteng menjadi berubah, yaitu semakin masuk ke dalam hutan. Kedua binatang herbivora ini saling bersaing dalam memakan tumbuhan yang sama. Persaingan ini mengakibatkan sediaan makanan bagi badak menjadi berkurang. Akibatnya pola aktifitas dan pemakaian ruang jelajah pun berpengaruh pada kualitas hidup dan perkembangan badak. Hal ini mudah dipahami karena banteng hidup dalam berkelompok sehingga mudah dalam melakukan reproduksi. Berbeda dengan badak yang cenderung soliter, ditambah gangguan banteng menyebabkan kualitas hidup badak menjadi kurang.

Sekitar pukul 10.00 wib kami kembali berlayar ke Pulau Peucang, sambil makan nasi goreng yang disiapkan oleh ABK. Wah asyiknya …
Matahari sudah mulai menampakan sinarnya di ufuk Timur. Tidak ingin melewatkan sunrise begitu saja, segera saya membasuh muka di toilet kapal. Huh … airnya ternyata asin. Kami turun dari kapal, menjejakan kaki di Pulau Peucang, yang menurut Pak Komar merupakan tempat terindah di Taman Nasional Ujung Kulon. Ternyata memang benar. Pantai dengan pasir yang putih, laut yang biru dan jernih hingga gerombolan ikan pun yang nampak hitam terlihat jelas dari pantai.

Kami menyusuri pantai di bawah hangatnya sinar matahari pagi. Pasir putih di sini agak berbeda dengan pasir seperti di Pantai Kuta yang jika diinjak langsung terperosok ke dalam. Pasir di sini agak padat, seperti "tanah" biasa saja, hanya saja berwarna putih.

Beberapa ekor burung sempat kami dokumentasikan dengan lensa tele berukuran 75 – 300 mm yang kami bawa. Di tengah-tengah laut, nampak beberapa kapal, di antaranya berisi turis dari Australia dan beberapa pemancing. Pantai Peucang memang sorga penikmati orang yang hobby mancing, selain snorkeling dan diving.

Pulau Peucang adalah pulau kecil dan termasuk dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Nama Peucang diambil dari nama sejenis siput yang sering dijumpai di pantai ini ada juga yang menyebutnya diambil dari nama sejenis menjangan yang tinggal di kawasan ini. Untuk masuk kawasan ini, pengunjung cukup membayar Rp 2.500 per orang. Di sini juga tersedia penginapan, yang harganya cukup bervariasi, Flora A Rp 780.000,- (6 kamar, AC), Flora B Rp 680.000,- (6 kamar, AC), Fauna Rp 400.000,- (8 kamar). Ada juga hitungan berdasarkan perkamar, yaitu Rp Rp 150.000,- Rp 250.000,- perhari (tanpa AC). Beberapa obyek menarik lainnya di pulau ini adalah, Karang Copong, tetapi sayang kami tidak sempat ke sana, karena untuk ke tempat ini enaknya pas waktu sunset. Sementara waktu saya sudah sangat terbatas. Perjalanan kami lanjutkan ke Cidaon yang jaraknya lebih dekat dengan menggunakan kapal motor-nya Pak Komar, untuk melihat banteng di habitat alaminya (bersambung).

Dari Taman Jaya, berlayar menuju Pulau Peucang

Jam menunjukkan pukul 18.00 wib lebih sedikit, tetapi tanda-tanda kapal mau sandar dari Sumur menuju Taman Jaya, belum terlihat. Sambil menunggu pemberangkatan, kami makan dulu di rumah makan yang lokasinya tak jauh dari penginapan Sunda Jaya. Perbekalan pun sudah kami beli dan masukan ke dalam backpack, seperti: air mineral, roti keju, dan pop mie cup. Juga lotion anti nyamuk, khawatir di sana dikerubutin nyamuk.

Sekitar pukul 20.00 wib, kapal baru sandar, ABK dan Captain bergegas ke rumah masing-masing, yang rupanya tinggal di Taman Jaya, sekedar mampir dan berpamitan dengan keluarga karena akan kembali berlayar.

Beberapa ABK yang lain, nampak sibuk memasukan beberapa jirigen solar ke dalam kapal mereka. Kabarnya saat ini solar sudah sangat mahal di Taman Jaya. Tetapi buat mereka tidak masalah jika memang harus mahal, yang penting ada. Masalah yang seringkali dihadapi penduduk dan nelayan di sini, justru sering kali bahan bakar tersebut tidak ada.

Saat itu dermaga Taman Jaya sangat gelap, karena tidak dilengkapi lampu penerangan. Beruntung saat itu sedang bulan purnama, sehingga mampu menyinari dikegelapan malam dermaga meskipun masih agak remang-remang. Semua perbekalan di naikan ke kapal, dan berangkatlah kami bersama 2 ABK dan 1 orang captain kapal, menuju Pulau Peucang. Ah, senangnya ...

Kami duduk di palka, persis di depan kemudi. Laut saat itu sangat tenang, nyaris seperti berlayar di danau, tidak ada ombak. Sehingga sempat tertidur pulas karena seperti diayun-ayunkan. Pukul 23.30 kami terbangun dan ternyata hampir sandar di dermaga Peucang. Dari kejauhan nampak ada 2 buah kapal yang sedang sandar (kabarnya sedang mengantar turis-turis dari Australia), dan di atasnya terlihat banyak yang memancing di pantai tersebut. Pemandangan yang sangat menarik.

Sampai di dermaga Peucang sudah dini hari, sehingga kami tidak begitu berani lagi untuk turun dan mencari penginapan di tempat yang masih asing bagi kami. Kami putuskan untuk tetap tidur di atas kapal, hingga pagi hari, sebagaimana saran Pak Komar ketika sebelum berangkat. Satu persatu orang yang semula mancing, meninggalkan dermaga untuk tidur di penginapan. Tinggal saya dan istri dan beberapa ABK yang masih mengawasi kapal mereka. Istri saya tidur di dalam kapal, sementara saya di palka. Paginya, istri saya cerita kalau dia tidak bisa tidur, sementara saya tidur terlelap plus ngorok (bersambung).

Air Panas Cibiuk di Kawasan Konservasi

Malam ini saya menginap di homestay-nya Pak Komar, Sunda Jaya. Saya berharap tadinya di tempat ini akan ketemu banyak kawan-kawan dari milis komunitas backpacker Indonesia (Indobackpacker), yang satu tujuan dengan saya ke Pulau Peucang. Tetapi rupanya hanya ketemu dengan satu orang saja, dari Bandung. Sehingga rencana menyewa sebuah kapal pun gagal, karena biayanya menjadi sangat mahal, Rp 1.500.000,- pulang pergi.

Sesuai saran Pak Komar, sebaiknya ikut saja kapalnya, yang kebetulan akan menjemput turis dari Cekoslovakia dan juga dari kelompok Actur (Auto 2000 Adventure) tetapi nanti malam. Sip lah … saran tersebut akhirnya saya setujui dengan biaya hanya sebesar Rp 250.000,- pulang pergi untuk 2 orang.

Keesokan harinya, sambil menunggu berangkat ke Peucang, seharian kami habiskan waktu di perkampungan tradisional Taman Jaya, areal persawahan, dan terakhir air panas Cibiuk, di kawasan hutan konservasi.

Penduduk di sini sangat ramah, sepanjang perjalanan selalu saja ada yang menyapa. Jalan-jalan desa itu cukup luas, meskipun belum beraspal, hanya tersusun dari batu-batuan kali yang berukuran cukup besar. Di kiri-kanan jalan banyak ditemui rumah-rumah panggung. Terlihat ada seorang Ibu yang sedang mencari kutu anak remajanya, ada yang sedang menyapu, ada juga yang lagi netekin anaknya. Beberapa rumah di antaranya terlihat memiliki parabola, karena saluran televisi di sini tidak terjangkau oleh antena TV biasa. Semakin jauh kaki ini melangkah, semakin lama, rumah-rumah penduduk semakin jarang, hingga akhirnya tidak ada lagi, sudah berada di sawah.

Menarik, memperhatikan para petani yang sedang menandur di area sawah yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan yang dilatarbelakangi gunung Honje dan Cibiuk

Berjalan di antara pematang sawah yang sempit dan agak sedikit lembek, adalah kesempatan yang jarang terjadi. Sesekali saya berusaha mengimbangi langkah kami di antara pematang sawah, yang nyaris kehilangan keseimbangan, karena perut yang sekarang sudah agak membuncit.

Peluh keringat membasahi sekujur badan, ternyata kami sudah berada di perbatasan hutan yang sejuk, rimbun dengan gemerincing aliran sungai kecil dari dalam hutan menuju persawahan. Tempat yang mengasyikan, berharap kami bisa menjumpai banyak binatang liar di sini. Perjalanan di tengah hutan yang berliku-liku dan menanjak penuh perjuangan itu, berakhir di tempat air panas Cibiuk.

Sambil beristirahat, dari kejauhan nampak beberapa ekor lutung (Presbytis cristata) bergelayutan di atas pohon, dan suara-suara burung yang saling bersahutan. Beberapa serangga kupu-kupu pun tak luput menjadi incaran kami untuk didokumentasikan.

Bak, seorang tour guide, Pak Komar pun bercerita, sambil menunjuk kesebuah tanaman bahwa ini adalah tanaman Songgom, daun kesukaan Badak Jawa, selain selungkar dan pucuk rotan. Ditambahkan, bahwa badak kalau makan, biasanya sambil jalan dan lurus. Lucu juga ya … Lalu, kalau ketemu Badak di tengah jalan dan mengejar kita? Instri saya menimpali, “gampang, tinggal belok saja, kalau perlu zigzag, bebas dech …”.

Bersyukurlah, kalau ketemu Badak, penduduk sini belum tentu ada yang pernah melihat badak secara langsung. Pak Komar sendiri menurut penuturannya sudah 10 kali berjumpa langsung. Jadi ingin ketemu … Kabarnya Badak sering ditemui di Sungai Cigenter, Cidaon, Handeleum, Citandahan dan Cibunar. Kalau beruntung, badak bisa ditemui di musim panas. Biasanya dia akan menuju sungai untuk minum, jadi tinggal tunggu saja di situ.

Menjelang sore, kami kembali ke ladangnya Pak Komar, dan disuguhi kelapa muda. Ah seger banget … Tidak lama kemudian, makanan diantarkan oleh istrinya Pak Komar, sayur kulit melinjo, ikan asin, lalap timun dan terong, serta sayur jamur. Wuih uenaknya… Istrinya rupanya memang jago masak, atau memang lagi lapar berat? He he he… Gabungan keduanya.

Sehabis makan, kami kembali ke homestay, tidur. Mempersiapkan perjalanan nanti malam menuju Pulau Peucang (Bersambung).

Perjalanan Menuju Ujung Kulon

Pagi itu, cuaca sangat cerah, saya pikir ini pertanda baik untuk mewujudkan rencana perjalanan yang sudah saya siapkan sekitar dua minggu sebelumnya, Pulau Peucang, Taman Nasional Ujung Kulon.

Berangkat dari rumah dengan istri sekitar pukul 08.20 wib menuju terminal bis Tanjung Priok. Memakai celana pendek buntung dan baju kaos plus topi, dan tas punggung (enggak sadar, kalau sudah tua … biarin aja dech).

Sengaja perjalanan kali tidak membawa kendaraan, asli menjadi backpacker, karena beberapa alasan. Pertama, saya masih belum tahu rute menuju Taman Nasional Ujung Kulon. Kedua, masih ragu, apakah kendaraan bisa sampai di lokasi yang akan saya tuju, yaitu desa terakhir sebelum masuk ke Ujung Kulon, Taman Jaya?. Ketiga, diharapkan bisa menekan biaya pengeluaran, serendah mungkin. Keempat, menjadi backpacker adalah hobby.

Celingak celinguk mencari-cari bis tujuan Labuan, ternyata tidak ada. Menurut informasi yang saya peroleh dari beberapa pedagang di sekitar terminal, ternyata bisnya sudah berangkat, sebelum pukul 07.00 wib. Bener atau enggak, saya enggak tahu persis. Lucu juga jika baru sampai Priok saja sudah bingung, apalagi kalau sampai dikibulin … para calo … bisa kacau nih he he he…

Sementara berpikir, tiba-tiba seorang kondektur Bis Aseli Prima, menawarkan jasanya supaya kami mau menggunakan bis tersebut. Sambil merayu, katanya, “naik bis ini saja, murah koq”. Loh … berarti cara saya berpakaian rupanya sudah sesuai dengan harapan saya, murah. Tanpa pikir panjang, segera saya naik ke bis tersebut.

Pukul 09.18, bis yang kami tumpangi langsung meluncur meninggalkan terminal, menuju Serang. Sudah lama tidak naik bis, ternyata sekarang makin meriah euy … Pedagang asongan bergantian membagikan barang dagangan, mulai dari buku-buku agama, buku pelajaran, alat tulis, makanan kacang, permen jahe, hingga makanan berat semisal, Kiss Bakery Donuts dalam satu dus. Semua dibagikan … apa enggak khawatir hilang ya?

Dengan membayar ongkos Rp 16.000,- saja, akhirnya kami tiba di Serang pada pukul 11.30 wib. Untuk menghemat waktu, segera kami lanjutkan perjalan dengan menggunakan Bis All Falah menuju Labuan. Bis tersebut ternyata sudah penuh sesak. Terpaksalah kami berdiri, tetapi tidak lama, karena beberapa saat kemudian ada beberapa penumpang yang turun. Naik bis ini sebetulnya kurang nyaman, ukuran nya besar, sementara jalanan tidak begitu lebar, berbelok-belok dan ngebut pula. Ini masalahnya … jadi bikin sedikit mual (Loh, katanya backpacker?... emangnya backpacker enggak boleh mual !)

Sekitar 2 jam perjalanan dan ongkos Rp 10.000,- akhirnya kami sampai di Terminal Tarogong. Semula saya berpikir bis ini, akan sampai di Labuan, ternyata hanya sampai di terminal tersebut. Perjalanan kami lanjutkan dengan menggunakan angkot menuju Labuan dengan ongkos Rp 3.000,-. Jaraknya ternyata tidak terlalu jauh.
Sudah menjadi kebiasaan saya, jika ke suatu tempat yang baru saya kunjungi, saya tidak akan memasang muka bingung. Dan saya tidak segera bertanya-tanya ke para tukang ojek yang sudah mengepung saya. Saya katakan, maaf, tujuan saya adalah tempat makan, warung Padang. Tetapi rupanya warung Padang pun enggak ketemu juga … he he he, sepertinya orang Padang kurang berniat jualan di daerah sini? Cuma ada penjual kupat tahu. Perjalanan boleh jauh, tetapi urusan perut harus didahulukan, jadilah saya sikat. Saya tanya-tanya ke pedagang kupat tahu, di mana lokasi stasiun Isuzu ELF. Rupanya yang namanya stasiun cuma sekedar tempat mangkal saja, yang justru sudah saya lewati. Jadi, tidak ada terminal khusus.

Sesuai informasi dari karyawan kantor PLN, yang kebetulan saya temui, sambil numpang pipis di kantornya. bahwa kendaraan menuju ke sana hanya sampai pukul 10.00 wib. Wah ... tanda-tanda kekacauan sudah mulai menghadang.

Sesuai sarannya, terpaksa harus balik lagi ke terminal Tarogong, mencari kendaraan ELF juga tetapi tujuan Cibaliung, atau lebih dikenal dengan nama Kampung Sawah.

Akhirnya, kendaraan menuju ke sana sudah saya peroleh. Sayangnya, walaupun saya sudah duduk cukup lama, kendaraan ini enggak jalan-jalan juga ... capek dech … Kelamaan ngetem, menunggu penumpang hingga penuh. Saya mulai khawatir kalau sampai hutan nantinya kemalaman karena tempat tersebut belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Kegelisahaan saya, akhirnya hilang, ketika mobil sudah distarter oleh sang sopir, kendaraan pun siap diberangkatkan.

Ada beberapa kejadian unik selama perjalanan dari Tarogong – Cibaliung, karena dalam setiap menaikan penumpang, selalu saja mereka kenal semua penumpang, bertegur sapa. Pokoknya rame !!! Suatu hal yang menarik. Padahal jarak Tarogong – Cibaliung - Sumur, cukup jauh, ongkos saja Rp 20.000,- per orang.


Kejadian aneh lainnya, setiap berhenti di suatu tempat, supir pun ikut turun. Ada saja urusannya tuh sopir, beli rokoklah, ngobrol ngalor ngidul dulu dengan temannya (mungkin ngobrolin arisan), dan terakhir sempat-sempatnya tuh supir pesan martabak … Ini yang bikin saya kesal. Tetapi anehnya penumpang lain tidak ada yang complain?. Saya tidak tahu, mungkin karena jarangnya kendaraankah? sehingga supir bisa berbuat semaunya saja?.

Entah di daerah apa, saya tidak tahu persis, kemudian saya di over menggunakan angkot menuju Sumur. Di mana, di dalamnya sudah ada tumpukan gabah berkarung-karung. Buset! Saya enggak mau numpuk dengan gabah, jadi saya pilih duduk di depan dekat pak sopir, sementara tas punggung saya taruh di belakang.

Ternyata naik angkot ini pun, bikin kesal juga, bayangkan saja, masa saya harus ikut-ikutan mengantar gabah-gabah ini masuk ke kampung-kampung mencari alamat yang ternyata tidak jelas. Sementara saya sedikit dag dig dug, karena harus berkejaran dengan waktu, yang semakin sore.

Perjalanan dengan angkot ini, akhirnya berakhir juga di kecamatan Sumur. Untuk melanjutkan perjalanan, saya harus menggunakan ojek ke desa terakhir, Taman Jaya. Seperti biasa, saya tidak menunjukan muka bingung. Saya hanya sampaikan bahwa saya mau ke rumah Pak Komar, pemilik homestay Sunda Jaya, di Taman Jaya. Dengan menggunakan 2 kendaraan ojek, mereka mengantarkan saya dan tiba di lokasi tersebut pukul 19.00 wib, dengan ongkos Rp 25.000,- tetapi mengingat perjalanan yang jauh dan rusak, dengan kesadaran sendiri akhirnya kedua tukang ojek tersebut saya tambahkan menjadi Rp 30.000,-. Jadi dari Tanjung Priok menuju lokasi ini, perlu waktu sekitar 11 jam, yang seharusnya bisa ditempuh hanya 5 – 6 jam saja. Jika Anda ingin membawa kendaraan sendiri, sebetulnya tidak ada masalah, jalannya cukup bagus hingga Kecamatan Sumur. Sedangkan untuk mencapai Taman Jaya, separuh perjaanan masih beraspal walaupun agak rusak, tetapi separuhnya lagi perjalanan agak sulit, benar-benar rusak, tetapi masih bisa dilewati oleh kendaraan off road.
(Bersambung)

Kisah jadul dan kuliner di Surya Kencana

Sebetulnya ini adalah kisah jadul. Kebetulan kemarin (4/5) Kompas, menuliskan riwayat tentang kota Bogor, khususnya wisata kuliner di Jalan Surya Kencana. Membuat saya tertarik untuk mencoba menyusuri jalan-jalan di kawasan ini kembali.

Empat tahun saya kuliah di Bogor (1987 – 1991), tentu jalan ini tidaklah asing. Saya sering menikmati kesendirian dengan keluyuran malam-malam di kawasan ini. Sesuatu yang menurut saya, sangat mengasyikan. Maklum, saya seorang soliter.

Ketika itu, perjalanan dimulai dari pintu gerbang Kebun Raya Bogor, selepas turun dari angkot . Saya sangat menikmati melihat kesibukan pedagang-pedagang sayur dan buah-buahan di tempat ini. Sejak pukul 22.00 wib mereka sudah sangat sibuk menggelar dagangannya hingga esok hari..

Siang ini, saya kembali menyusuri jalan-jalan di daerah ini. Bedanya, jika dulu setiap melihat jajanan, cuma bisa melirik, tidak pernah beli, karena memang tidak punya uang. Bisa kuliah saja saat itu sudah sangat bersyukur. Pernah juga sesekali nonton di Rangga Gading atau Bogor Theater.

Dan saya baru “ngeh” kalau bioskop-bioskop itu saat ini ternyata sudah tidak ada. Waktu seolah, begitu sangat cepat berlalu, sepertinya baru juga kemarin.

Ada 16 lokasi wisata kuliner di Jalan Surya Kencana, yang ditunjukan Kompas, di antaranya: Laksa Ace, Nasi uduk cece, Es Pala Okip, Soto Bogor Maman, Lumpia Basah Anton, Roti Singapura, Asinan Lengkap, Toge Goreng Gang Besi, Soto Pak Yusuf, Bir kocok jahe Pak Acep, Asinan Jagung Gang Aut, Soto Bogor Pak Salam, Es Krim Durian Doto, Asinan Gedung Dalam, dan Toko Roti Tan Ek Tjoan.

Nanti, semua satu persatu akan saya coba cicipi, sebagai pembalasan dendam ketika saat kuliah dulu. Hari ini, akan saya coba mulai dengan mengunjungi Soto Pak Yusuf dulu.
Tahu enggak? yang namanya Soto Pak Yusuf, sebetulnya hanyalah pedagang makanan di emperan toko di jalan Surya Kencana. Hanya terdiri dari beberapa buah bangku plastic saja yang tersedia. Untuk makan di tempat, tentu saya harus antri berdiri dulu. Sebuah layanan yang sangat bersahaja. Justru di sinilah daya tarik kuliner di kawasan Jalan Surya Kencana. Itu sebabnya tidak aneh penggemar Soto Pak Yusuf yang harganya Rp 14.000,- permangkok ini sangat banyak, yang datang kebanyakan kendaraan berpelat B (Jakarta). Ketika ke sana, di samping saya ada seorang Ibu, yang paginya rupanya sudah datang tetapi kehabisan. Sore ini adalah kunjungan yang kedua, setelah yang pertama gagal, karena sudah kehabisan. Dan ternyata sorenya juga kehabisan. Ketika saya coba santap, rupanya memang enak banget.
Untuk itu saudara-saudara, saya rekomendasikan untuk coba mencicipi !.

Mendebarkan di Kawah Kamojang

Setelah dari Kampung Sampireun, destinasi selanjutnya adalah Kawah Kamojang.
Merupakan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam yang berada di ketinggian sekitar 1640 m dpl.
Kamojang berasal dari kata mojang yang artinya cantik. Konon kabarnya dulu ada gadis cantik yang terkenal di tanah Sunda. Selanjutnya kawasan ini disebut sebagai kawasan Kamojang.


Jalan menuju ke sana, sangat bagus, aspalnya berhotmix, meskipun berliku-liku. Kanan kiri jalan sangat menarik, banyak tanaman sayur, cabe, tomat dan beberapa petani terlihat sedang memanen hasil tanamannya. Pemandangan yang cukup menarik.

Masuk ke kawasan ini tidak mahal, cukup dengan membayar Rp 5.000,- per orang. Berbeda dengan kawah seperti pada umumnya yang pernah saya kunjungi. Kawah ini sangat berbeda. Kawah di sini sebetulnya adalah goa-goa tempat semburan uap panas dari perut bumi. Dari kejauhan, nampak semburan uap itu seperti ada yang sedang membakar sesuatu. Sesuai informasi sebetulnya ada belasan kawah, tetapi beberapa nama kawah yang sempat dicatat oleh anak saya, yang saya lewati di antaranya kawah manuk, kawah kereta, dan kawah ceceret. Sebetulnya masih banyak kawah-kawah yang lain, tetapi terus terang agak mendebarkan juga memasuki kawasan ini. Serem! Hi hi hi …
Saya juga tidak sempat mengunjungi kawah hujan, yang katanya merupakan sauna alam. Soalnya saat itu hujan mulai turun, sehinnga tidak lagi bersemangat untuk melanjutkan perjalanan ke tempat yang lebih tinggi, karena anak-anak juga sudah merengek untuk segera ke kolam renang air panas.

Kampung Sampireun yang romantis

Sudah lama tidak “jalan” kebetulan hari minggu yang lalu adalah, hari ulang tahun pernikahan kami yang kesembilan. Destinasi "jalan" kali ini adalah Kampung Sampireun, Garut. Terus terang, saya sendiri sebetulnya belum pernah ke daerah Garut, hanya berbekal informasi dari milis indobackpacker dan instuisi saja. Selama kurang lebih tiga setengah jam perjalanan(265 km) dari TOL Cacing - TOL Cikampek - TOL Cipularang - TOL Purbalenyi dan terus melalui jalan-jalan desa dan perkebunan yang cukup indah di kawasan Garut, akhirnya sampai juga kami di Kampung Sampireun.

Menurut informasi dari websitenya, di sini, Kampung Sampireun diambil dari nama Danau Sampireun, yang artinya tempat singgah. Merupakan sebuah resort dan spa dengan setting kampung, dengan udara yang sejuk. Pegunungan, danau, gemercik air pancuran, rakit, perahu, rumah-rumah kayu yang berpadu dengan kebun bambu di sekelilingnya ditambah hilir mudiknya ribuan ikan-ikan mas di sekitar kolam menjadi element yang menjadi daya pikat untuk menikmati harmoninya alam di Kampung Sampireun.

Letaknya berada di sebelah sisi kanan jalan ke arah Kawah Kamojang, berada diketinggian sekitar 1000 meter dari permukaan laut., di Jalan Raya Samarang, Kamojang Ciparay, Desa Sukakarya. Ikan-ikan di sini nampak sudah terbiasa diberi makanan, sehingga ketika tangan anak-anak saya dimasukan ke dalam kolam, dengan cepat ikan-ikan itu berdatangan. Nampak anak-anak saya sangat menikmati. Saya juga menyempatkan diri untuk berkeliling kampung, sambil mengambil gambar dari atas danau. Tetapi sayang, hasilnya masih tetap kurang memuaskan, jelek, maklumlah masih belajar.

Jumlah cottages di sini ada 19 buah, di mana tariff nya permalam mulai dari Rp 1.500.000,- hingga Rp 3.000.000,-. Di mana disetiap cottage dilengkapi dengan sebuah perahu. Cukup mahal, apalagi ini berada di desa, yang jauh dari pusat kota. Tetapi tempat ini memang cukup menarik, tidak ada hotel dengan tematik sejenis di tempat lain sebagaimana yang ditawarkan Kampung Sampireun. Jika ingin ke tempat ini, sebaiknya telepon dulu di 0262-542393, sebab biasanya selalu penuh.

Perjalanan kami selanjutnya adalah Kawah Kamojang, akan diceritakan pada postingan selanjutnya.
Mulih K'Desa, jika diterjemahkan, artinya adalah kembali ke Desa. Sebuah nama tempat wisata kuliner dan juga penginapan di daerah Garut. Lokasinya sekitar 1 km sebelum Kampung Sampireun ke arah Taman Wisata Alam, Kawah Kamojang.

Sebuah konsep penginapan dan rumah makan dengan setting sawah. Semua makanan yang disajikan di masak dengan cara-cara yang sangat tradisional, gaya kampung, menggunakan tungku dan kayu bakar. Tempat makan pun kita bisa memilih, apakah mau di dapur, di tengah sawah, di atas kolam atau di saung yang di bawahnya ada beberapa ekor kerbau. Disediakan juga beberapa permainan anak-anak ala kampung, dan perangkat keperluan outbound, cukup lengkap.

Ketika ke sini, minggu kemarin bersama keluarga saya memilih makan di atas sawah, di mana padi-padi di bawahnya sudah mulai menguning, siap untuk di panen. Beberapa jenis makanan saya pesan kepada waitress yang ramah dengan pakaian kebaya khas kampung, seperti bajigur, nasi timbel merah, ayam bakar, nasi pencok. Harga nya tidak terlalu mahal, namanya juga di kampung, seharusnya memang tidak boleh mahal. Sambil menunggu makanan, terdengar alunan musik traditional khas Sunda ... wah enak banget.

Tidak lama kemudian, seorang waitress mengantar sebuah ceret berisi air teh, piring kaleng (ompreng) dan mug yang juga terbuat dari kaleng lengkap dengan tambalan-tambalan di bawahnya. Wah … benar-benar di kampung banget! Pengalaman unik. Jadi terkenang saat masih kecil dulu, setiap hari mengantarkan makanan bersama nenek untuk seorang kakek yang sedang bekerja di sawah. Sambil makan di sawah dengan membawa ceret dan mug kaleng yang sudah pada bolong dengan tambalannya. Menyenangkan! Di tempat tinggal saya dulu, daerah Depok masih banyak areal persawahan yang sangat luas, tetapi sekarang sudah penuh sesak dengan pemukiman dan pabrik-pabrik sehingga sudah tidak ada lagi.

Pemilik tempat ini, rupanya menyadari benar, kebutuhan orang-orang yang hidup di saat ini, sudah kehilangan tempat-tempat dan suasana di masa kecil. Kloplah, jika kita kembali ke kampung, makan dan tidur di sawah, Mulih K’Kampung.
Loh koq kaya iklan ya? Selesai dari tempat ini saya ke Kompleks pemandian air panas di Cipanas, berenang dari dari sore sampai malam. Ceritanya? nantikan pada postingan selanjutnya.

Melihat penutupan Cap Go Meh di Taman Mini


Kemarin (24/02), saya mampir di Taman Budaya Tionhoa Indonesia, Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Sebetulnya sih mau ke Museum Serangga dan Taman Kupu-kupu, tetapi pas melewati Taman Budaya Tionghoa ada acara penutupan Cap Go Meh. Penasaran, akhirnya saya memarkirkan mobil untuk menonton.

Pertama, ada sambutan dari Ketua Panitia (staf dari TMII), sambutan dari Andi Nasution (koordinator suhu), sambutan Pak Teddy Yusuf (pelindung etnis Tionghoa), selanjutnya diisi dengan hiburan berupa, Liong dan Barongsay.
Acara ditutup dengan pertunjukan suhu-suhu se-nusantara, di antaranya: berdiri di atas pedang, menusukan benda tajam ke pipi, berjalan di atas beling, menggorok leher-nya dengan pedang, menusuk perutnya dengan pedang, dsb. Menurut panitia bahwa acara ini sudah digelar sejak tanggal 7 Februari 2008. Hari ini adalah acara penutupan. Menurut Pak Yusuf, bahwa kegiatan ini akan digelar setiap tahun di tempat ini, yaitu sebuah tempat di salah satu lokasi di TMII yang memiliki luas 45.000 m2.
Kebanyakan peserta, sesuai dengan kaos yang saya lihat adalah dari : Pontianak, Tangerang, Singkawang, Bogor, Bekasi dan Jakarta.
Yang menjadi pertanyaan saya adalah, ketika melakukan atraksi tersebut, apakah mereka melakukan dengan sadar? atau tidak sadar? Kalau tidak sadar, lalu siapa yang menguasai diri orang tersebut?

Sebagai informasi, tiket masuk ke TMII saat ini adalah Rp 9.000,- per orang dan Rp 10.000,- per mobil.

Trik Foto (1)

Hasil foto yang selama ini saya peroleh, hasilnya kurang memuaskan. Masalahnya, saya cuma hobby memotret, asal ngejepret. Tidak didukung oleh teknik-teknik yang memadai agar hasilnya bagus. Sepertinya memang harus banyak belajar lagi.

Pada majalah InfoKomputer edisi Nopember 2007 yang lalu, kebetulan ada suplemen, Liburan bersama Canon. Untuk memahaminya, saya perlu mempostingkannya, agar mudah untuk mengingat.
Menurut tulisan tersebut, ada beberapa trik agar foto lebih menawan adalah sebagai berikut :
  1. Memperhatikan latar belakang. Latar belakang adalah elemen foto yang pengaruhnya sangat besar. Jangan sampai latar belakang ini mengganggu penampilan keseluruhan. Secara umum latar belakang hendaknya sederhana, sehingga subyek bisa terlihat lebih menonjol, dan lebih menarik.
  2. Close Up. Ukuran subyek di dalam foto yang terlalu kecil. Ini terjadi karena pengambilan gambar yang terlalu jauh terhadap subyek. Penuhi frame foto dengan subyek, dengan cara mendekat ke mereka atau melalui zoom.
  3. Cari keunikannya. Carilahkeunikan dari tempat liburan tersebut yang tidak ada di tempat lain. Lalu berfotolah dengannya.
  4. Arahkan gaya. Agar foto terlihat lebih dinamis, kadang diperlukan usaha yang lebih. Di antaranya mengarahkan gaya subyek.
  5. Cobalah komposisi berbeda. Cobalah memfoto dengan posisi camera ang berbeda-beda.
  6. Memotret di Golden Light. Saat matahari di posisi rendah, pada saat terbit dan akan tenggelam, cahaya matahari menimbulkan efek warna kekuning-kuningan pada foto, foto memiliki kesan hangat. Dalam fotografi, wakti ini dikenal dengan masa golden light. Manfaatkanlah waktu-waktu ini.

Sepertinya, terlalu singkat!

Jalan-jalan ke Kota Toea, Djakarta


Sepulang Imlek-an di rumah Bos, saya mencoba menyusuri jalan-jalan di Kota Tua. Tidak semuanya sih? cuma sekitar museum Fatahillah saja. Kota tua, atau yang sering disebut Oud Batavia ini terbentang dari Pelabuhan Sunda Kelapa di ujung Utara, sampai Jalan Petak Baru dan jembatan batu disebelah Selatan hingga Olimo. Keren juga. Apakah kota tua identik dengan bangunan tua? Enggak jelas juga ...
Walaupun bangunannya tua, apakah tidak boleh dirawat? Sehingga terlihat lebih menarik? Tapi ya, keren juga sih ...

Berkunjung ke musem sejarah Jakarta

Kebetulan, kebaktian kali ini agak cepat sehingga waktu yang masih siang ini bisa saya manfaatkan untuk berkunjung ke Museum Sejarah Jakarta. Sudah lama sebetulnya mau ke sini, tetapi waktunya selalu tidak memungkinkan, karena setiap kali ke sini sudah keburu tutup. Museum ini buka dari hari Selasa sampai dengan Minggu, 09.00 - 15.00 wib, sedangkan hari Senin dan besar tutup.

Museum Sejarah Jakarta ini juga dikenal dengan Museum Fatahillah atau museum Batavia, terletak di Jl. Taman Fatahillah No 2, Jakarta Barat.

Dulunya, gedung ini digunakan sebagai Balai Kota yang dibangun pada tahun 1707 - 1710 pada jaman Gubernur Jenderal Johan Van Hoorn, yang kemudian diresmikan oleh Ali Sadikin pada tanggal 30 Maret 1974 menjadi Museum Fatahillah.

Ada beberapa koleksi replika, di antaranya : peninggalan Tarumanegara dan Pajajaran. Beberapa catatan mengenai hasil kunjungan tersebut di antaranya adalah : Bahwa daerah Jakarta dan sekitarnya, dulunya merupakan daerah endapan aluvial yang terbentuk sejak 5000 tahun yang lalu. Di atasnya terdapat sekitar seratus-an buah situs prasejarah, yang dibuktikan dengan ditemukannya riabuan artefak yang sebagian besar berlokasi di daerah aliran sungai.
Di antaranya : Situs Pejaten, Kampung Kramat, Rawa Kodok, Condet, Pasar Minggu, Tanjung Barat, Prasasti Ciaruteun, Prasasi Tugu, Prasasti Kebantenan, dsb.

Sebuah tempat yang patut dikunjungi oleh pelajar, mahasiswa, dan juga penghobi masa lalu. Tiket masuk sama dengan uang parkir, Rp 2.000,- sedangkan anak-anak Rp 500,-.

Keanekaragaman Hayati Kupu-kupu di Unila

Catatan ini saya posting juga di blog saya yang lain, Myblogbook. Saya perlu posting di sini karena terkait dengan perjalanan saya ke Lampung beberapa waktu yang lalu.

Buku ini adalah kiriman dari seorang kawan yang saya temui ketika saya berkunjung ke Taman Kupu-Kupu Gita Persada Bandar Lampung beberapa waktu yang lalu. Namanya adalah Martin, belakangan diketahui bahwa dia adalah anak dari salah satu pakar Kupu-Kupu di Indonesia, Dr. Herawati Soekardi. Saya sendiri adalah penggemar makhluk kecil yang lucu dan bersayap warna-warni ini. Sebetulnya ada 2 buah buku yang dikirim, lainnya adalah : Kehidupan Burung di Kampus Unila.Rupanya kampus Unila saat ini sedang giat mewujudkan sebuah Green Campus, dengan menyelaraskan flora, fauna, warga dengan civitas akademika. Sebuah upaya kecil yang nampaknya membawa pengaruh besar pada kondisi Lampung secara keseluruhan. Sehingga saat ini Lampung tidak hanya dikenal dengan gajahnya saja, tetapi juga kini dikenal dengan keberhasilan upaya menangkarkan kupu-kupu-nya yang dimotori oleh seorang Dr. Herawati Soekardi.Sebuah buku yang sangat bermanfaat, karena jarang ada buku sejenis berbahasa Indonesia dan ditulis oleh pakar lokal yang dapat menjelaskan detail kehidupan kupu-kupu di habitat alaminya. Kehadiran buku tersebut, paling tidak merepresentasikan keanekaramanan kupu-kupu di suatu kawasan tertentu, yang syarat mengandung informasi penting bagi kelangsungan hidup serangga terbang tersebut.
Beliau berhasil merekayasa habitat, menjadikannya sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan oleh kehidupan kupu-kupu. Beberapa hal yang dibahas dalam buku tersebut di antaranya adalah : Mengenal kupu-kupu, morfologi, klasifikasi, keanekaragaman, perilaku dan peranannya di alam. Dari hasil pengamatan yang dilakukan di Unila sejak April - Juni 2007 tercatat bahwa ada 37 jenis kupu-kupu yang mendiami daerah tersebut, yang terdiri dari 5 famili. Papilionidae ada 6 spesies, Pieridae ada 9 spesies, Nymphalidae ada 14 spesies, Lycaenidae ada 2 spesies, dan Hesperiidae 4 spesies. Sebuah jumlah yang cukup banyak untuk ukuran kawasan sebuah kampus. Selengkapnya adalah :

  • Famili Papillionidae : Graphium agamemnon agamemnon, G. doson, G. sarpedon luctatius, Papilio demoleus malayanus, P. polytes cyrus, P. memnon.Famili Pieridae : Appias libythea olfrena, Catopsilia pomona pomona, Eurema brigitta senna, E. hecabe contubernalis, E. sari sodalis, Delias hyparere metarete, Leptosia nina malayana, Pareronia valeria lutuscens.
  • Famili Lycaenidae : Arthopala allata pandora, Jamides alecto ageladas, Nacaduba beroe neon.
  • Famili Nymphalidae : Euploea mulciber mulciber, Doleschallia bisaltide pratipa, Hypolimnas bolina bolina, H. missipus, Junonia hedonia ida, J.orithya wallacei, Moduza prociis milonia, Moduza sp, Neptis clinioides gunongensis, Phalantha phalantha, Elymnias hypermnestra discrepans, Melanitis leda leda, Mycalesis visala phamis, Ypthima baldus newboldi, Amathusia phidippus phidippus.
  • Famili Hesperiidae : Borbo cinnara, Cupitha purreea, Isma umbrosa, Udaspes folus.

Pada buku tersebut, dijelaskan juga cara-cara mengambil photo menggunakan camera. Sebagian besar gambar kupu-kupu yang ada pada buku tersebut, adalah hasil jepretan suamimya Anshori Djausal, yaitu pada kondisi habitat alaminya yang juga penghobi kupu-kupu.
Buku yang diakhiri sebuah pesan "Berikan ruang bagi kupu-kupu untuk terbang bebas dan bermetamorfosis melanjutkan generasinya. Kenali kehidupannya, lindungi habitatnya, di Kampus Hijau Universitas Lampung".Setuju !!! Tks Martin atas kirimannya.

Data Buku : Judul Kupu-Kupu di Kampus Unila, Penulis : Dr. Herawati Soekardi, Penerbit : Universitas Lampung, Agustus 2007, Tebal : 52 halaman

Minum jamu pahit? gak juga!

Jamu adalah resep warisan dari leluhur turun temurun yang dipertahankan dan dikembangkan oleh masyarakat Indonesia.
Ternyata minum jamu tidak selalu identik dengan pahit, yang diminum sambil menjempit hidung. Coba saja buktikan di kafe jamu Bukti Mentjos. Berbeda dengan warung-warung jamu yang menggunakan tenda, di sini tempatnya sangat nyaman dan luas, mirip bar. Semua bahan-bahan berjajar di tempatkan di toples-toples yang menarik. Di mana disetiap toples tersebut diberi label, sehingga memudahkan dalam pengambilan bahan-bahan tersebut, jika diperlukan. Dan juga memudahkan konsumen untuk memastikan tidak terjadi kesalahan dalam menggunakan bahan yang akan diseduh.

Lokasinya di Jl. Salemba Tengah 48 RT 004/04.
Membuat passport ternyata tidak lagi mahal, hanya bermodalkan tidak lebih dari Rp 287.000,- saja.
Sebelumnya memang cukup mahal yaitu berdasarkan PP No 75 Th 2005 tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP, yaitu sebesar Rp 756.000,-.
Sekarang sudah dirubah berdasarkan PP RI No 19 Th 2007 menjadi hanya Rp 287.000,- saja. Passport yang saya buat ini akan berakhir masa berlakunya tanggal 18 Januari 2013.
Syarat-syaratnya : membawa Kartu Keluarga, Ijasah, KTP, Kartu Nikah, semuanya asli. Prosedurnya, beli formulir dulu di loket penjualan formulir. Setelah data-data diisi, kemudian dikembalikan ke bagian verifikasi untuk dilakukan pengecekan bahwa dokumen-dokumen tersebut adalah asli dan benar. Selanjutnya menunggu panggilan untuk dilakukan pemotretan dan pengambilan sidik jari. Dilanjutkan dengan wawancara dan penandatanganan buku passport. Selesai dech. Ternyata perlu waktu seminggu, dari sejak daftar hingga selesai.
Hmmm mau kemana ya?

Smack down tofu, alias tahu gejrot

Nama yang aneh ... ya? Tahu gejrot. Tetapi menyimpan sejuta rasa nikmat di lidah. Makanan dengan bahan dasar tahu ini, yang dipotong kecil-kecil ini. Kemudian dicampur bumbu-bumbu : garam, bawang merah, bawang putih, gula merah, dan cabe rawit yang diuleg di dalam sebuah coet. Memakannnya pun menggunakan tusukan gigi yang disajikan di dalam coet yang terbuat dari tanah. Natural banget.

Saya biasa membeli makanan ini di jalan Tol Jagorawi, tepatnya yaitu di area peristirahatan Sentul. Biasa, kalau membawa kendaraan dan ngantuk. Saya segera membelokan kendaraan dan mampir ke tempat ini.
Dijamin seger kembali .... dan huh ... pedes banget. Gak ngantuk lagi, dijamin!

Rencananya mau melihat sunrise di Bromo, gagal

Tiba di Bromo ternyata matahari sudah menampakan wujud kemerahannya di ufuk timur sana. Di sepanjang perjalanan, terlihat pemandangan sangat indah, meskipun di beberapa titik terlihat rawan longsor. Kebetulan saat itu langit pun dihiasi oleh pelangi. Terlambat. Akhirnya sampailah kami di Cemorolawang. Sebuah lokasi diketinggian 2.200 meter di atas permukaan laut. Beberapa mobil berpelat N terlihat berjejer di pelataran parkir, menunjukkan bahwa pemiliknya sedang berada di puncak gunung Bromo menikmati sunrise dan dinginnya udara pegunungan.

Saya buka pintu mobil saya, dan brbrrrr … dingin banget. Dan hujan pun turun dengan deras dan awan nampak menutupi sebagian langit justru tepat ketika kami tiba di Cemorolawang, sehingga sunrise yang ditunggu-tunggu akhirnya tak terlihat.

Beberapa orang mencoba menghampiri kami menawarkan penginapan, semacam homestay. Harganya berkisar antara adalah Rp 100.000,- hingga Rp 125.000,- yang terdiri dari 4 kamar, sedangkan untuk yang satu kamar hanya Rp 75.000,-. Saya mencoba berunding dengan istri, apakah akan menginap? Di putuskan tidak, dingin katanya.
Kami kembali ke mobil, dan tidur hingga pukul 11.00 wib. Hujan akhirnya berhenti juga, dan langitpun kembali terlihat. Kami membuka pintu dan melihat sekeliling … Wah indah banget.
Beberapa orang mencoba menemui kami kembali, kali ini menawarkan jasa untuk mengantar kami menuju puncak Gunung Bromo. Ada beberapa pilihan, jika menggunakan kendaran Toyota Hardtop ongkosnya adalah Rp 150.000,- kuda Rp 70.000,-, ojek motor Rp 60.000,- . Akhirnya setelah bernegosiasi kami memilih ojek motor dengan biaya Rp 50.000,- tetapi untuk tiga lokasi berbeda yaitu : Gunung Bromo, Padang Savana, dan Pasir Berbisik.

Berbeda dengan 4 tahun yang lalu, ketika saya ke sini. Bentuk gunung Bromo sepertinya sedikit agak berubah, dipinggir-pinggir gunung nampak tumpukan pasir yang tidak beraturan. Mungkin akibat luapan lava yang sebelumnya pernah dimuntahkan. Di beberapa bagian tebing nampak tulisan-tulisan para vandalisme, yang tidak mengerti arti keindahan. Bau belerang, sangat menyengat, 250 anak tangga sudah kami lewati dengan bersusah payah. Akhirnya sampailah di puncak, Gunung Bromo. Pemandangan sekeliling begitu sangat indah.

Sejauh Pandangan di Savana


Lokasinya berada tepat di belakang gunung Bromo, cukup jauh. Nekat ke sini hanyalah berbekal informasi dari kawan-kawan di milis Indobackpacker, dan itu membuat saya penasaran. Ternyata benar, pemandangan di sini cukup indah. Kalau pernah melihat pemandangan di film serial anak-anak Teletubis, mirip banget.

Vegetasi yang mendominasi kawasan ini adalah : sejenis paku-pakuan (Pteridophyta), tanaman Adas (sejenis tanaman untuk obat), dan juga sejenis tanaman bunga warna. Saya tidak tahu nama persisnya, dicirikan dengan batang yang tegak dan kasar yang menunjukan hasil proses adaptasi terhadap lingkungan terbuka. Sehingga tanaman tersebut mampu bertahan dan tegak berdiri dalam melawan kerasnya angin dan dinginnya udara.

Padang savana ini di kelilingi oleh gunung berbatu yang ditumbuhi vegetasi. Batu-batu tersebut walaupun tertutup oleh vegetasi dikejauhan tetap masih terlihat bebatuan dengan corak kehitaman. Pokoknya sangat indah.
Selain kupu-kupu, di sini juga ada beberapa jenis serangga lainnya seperti : Haplopelma robustum (laba-laba biru), Eurycnema versirubra (belalang kayu), Scorpion sp, Chalcosoma caucasus (tanduk tiga), dan beberapa jenis kupu-kupu seperti : Papilio demolion, Idea blanchardi (Danaidae), Ornithoptera priamus (Papilionidae), Papilio memnon, Chetosia hypsea (Nympalidae), Troides helena (Papilionidae), Papilio peranthus (Papilionidae),

Dari brosur yang kami peroleh, Bali Butterfly Park ini dikelola oleh PT. Kupu Kupu Taman Lestari yang berlokasi di Jl. Batukaru, Sandan Lebah Wanasari – Tabanan. Buka mulai pukul 08.00 – 16.00.

Harga tiket masuk US$ 2,- Loh … koq pakai US $? Maklum, sebab kebanyakan yang mengunjungi taman kupu-kupu ini adalah turis manca negara, sedangkan turis lokal sangat jarang. Saya sendiri ketika masuk, hanya membayar Rp 15.000,- untuk ber-empat he he he… mungkin karena sudah sore dan mau tutup kali …

Sebagai catatan, bahwa ini adalah Taman Kupu-kupu ke empat yang saya kunjungi, setelah sebelumnya : Taman Nasional Bantimurung, Taman Kupu-Kupu Cilember, dan Taman Kupu-kupu Gita Persada. Saya memang menaruh perhatian besar terhadap jenis serangga ini. Sebab menurut saya selain indah, kupu-kupu adalah bioindikator kualitas lingkungan. Ketika kupu-kupu sudah jarang ditemui, berhati-hatilah! Berarti ada ketidakseimbangan ekosistem di suatu wilayah tersebut, yang bisa menimbulkan bencana ekologi.
Sehabis dari Butterfly Park, perjalanan kami lanjutkan menuju Taman Nasional Bromo-Tengger, Probolinggo. Berbekal informasi dari milis Indobackpacker, yaitu rekan Mukti Wibowo dan Alex Agung, semula kami akan mampir di Taman Nasional Bali Barat, yang rencananya kami akan melihat-lihat Leucopsar rostchildi (Bali Mynah) yaitu satwa endemic yang hanya ada di pulau dewata tersebut. Kabarnya burung tersebut hanya sukses di penangkaran, sementara di habitat aslinya sendiri jumlahnya tidak pernah bertambah. Namun karena tiba di lokasi sudah malam, rencana tersebut kami batalkan dan langsung tancap gas dan nyeberang dari Gili Manuk – Ketapang menuju Bromo. Ada beberapa kejadian penting yang perlu kami catat, yaitu selepas kami berisitirahat di Pantai Putih, Situbondo. Saat itu sekitar pukul 3.30 wib pagi, sesudah PLTU Paiton, istri saya melihat seorang gadis kecil dan bertubuh sangat pendek (cenderung cebol) memakai rok biru dan pakaian putih, berdiri di tengah jalan (garis midian). Anehnya, saya sendiri yang menyetir, justru tidak melihat apa-apa, loh???

Di sepanjang jalan saya sempat bertengkar kecil dengan istri saya, karena dia sangat yakin atas apa yang sudah dilihat. Karena istri saya menyangka sayapun pasti melihat, padahal saya tidak melihatnya sama sekali. Ketika diingat-ingat kembali, bahwa di lokasi itu tidak ada sama sekali rumah penduduk. Lalu dari mana dan mau kemana gadis kecil itu? Dan pertanyaan saya adalah, mengapa pukul 03.30 wib? Saat itu sangat terang, karena ada penerangan dari Paiton, tetapi koq saya sendiri gak lihat.

Kalau memang itu adalah manusia beneran, dan saya tidak melihat, kemudian tertabrak, wah bisa berabe urusannya.
Pokoknya lupakan saja dech, yang penting saya harus mengejar sunrise di Bromo neeehh.
Penasaran dengan ikan bakar Jimbaran. Walaupun tempatnya bukan di Jimbaran, akhirnya saya mencoba juga. Yaitu pas mau pulang, lokasinya di Jl. Raya Kapal No. 16.

Ada 2 jenis paket, yaitu paket standar Rp 25.000,- dan paket special, Rp 30.000,-. Bedanya, ada tambahan kerang dan cumi. Kami mencoba paket special, wah ternyata memang enak banget. Kalau di Jakarta di mana ya? Muara Karang?

Goa Gajah

Sebuah lokasi wisata yang terletak di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatu, Kabupaten Gianyar, sekitar 27 km dari Denpasar. Goa gajah berasal dari kata Lwa Gajah, sebuah kata yang muncul pada lontar Negarakertagama yang disusun oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Dibangun pada abad ke-11 M, pada saat Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten berkuasa. Goa ini dijadikan sebagai tempat pertapaan, yang dibuktikan dengan adanya ceruk-ceruk di dalam goa. Selain itu di sekitar goa juga terdapat kolam pertitaan dengan tujuh patung widyadara-widyadari yang sedang memegang air suci. Total patung ada tujuh, tetapi ketika saya kesana jumlahnya tinggal enam saja, satu patung menurut petugas dipindahkan ke lokasi lain, akibat gempa beberapa tahun yang lalu. Enam patung ini merupakan symbol dari tujuh sungai suci di India, yang merupakan tempat kelahiran agama Hindu dan Budha.

Sejuk, lembut angin di Bukit Kintamani

Kintamani adalah salah satu obyek wisata yang begitu terkenal dan tumbuh di punggung bukit. Dalam selimut hawa sejuk dan berkabut, samar-samar terlihat kemolekan Danau Batur yang bening dan teduh. Terletak di antara Bukit Abang di sebelah timur dengan kaki Gunung Batur di sebelah barat, tempat wisata di sini sungguh menyuguhkan pemandangan yang menarik.

Jadi inget lagu Ebiet,
... Sejuk, lembut angin di bukit Kintamani
Gadis-gadis kecil menjajakan cincin
...
Sebetulnya tidak ada agenda untuk berkunjung ke sini, tetapi karena hari ini adalah hari ulang tahun anak saya, Adriel. Dan ketika ditanya mau hadiah apa? Dia jawab mau hadiah ke BaliZoo aja. Apa boleh buat … akhirnya saya setujui.

Saya pikir kalau mau ke kebun binatang kan lebih baik ke Ragunan saja, lebih murah. Binatang-binatangnya kan sama saja, bahkan lebih lengkap.

Tetapi kami ketika ke sana, kebun binatang di sini memang sangat sempit hanya 3,5 hektar, tetapi terlihat sangat tertata rapih, dan lebih bersih. Lokasinya berada di Banjar Seseh Apuan, Sukawati, Gianyar. Jumlah koleksi saat ini sebanyak 350 ekor, anak-anak pun terlihat memang sangat menikmati dan memperhatikan setiap koleksi yang ada di Balizoo. Lebih-lebih kepada si Jacky yang suka meludah. Wah … hampir saja kena, dasar orang utan!

Sebagai kebun binatang di Bali, menurut saya seharusnya kebun binatang tersebut lebih menonjolkan satwa endemic-nya seperti : Jalak Bali (Leucopsar rostchildi) sebagai daya tarik pengunjung, tetapi sayang satwa tersebut justru tidak menempati lokasi yang strategis. Saya sendiri hampir terlewatkan jika tidak benar-benar di perhatikan, karena lokasinya agak dipojok dan tidak ada papan informasinya, seperti halnya untuk binatang yang lain.

(Keterangan gambar : di sebelah kanan, adalah gambar si Jacky, yang punya kebiasaan suka meludah ke setiap pengunjung).
Tanjung Benoa, merupakan lokasi atraksi olahraga air, di antaranya jet sky, banana boat, parasailing, play fish, glass boat (melihat ke bawah laut), diving, dan snorkeling (melihat ke bawah laut memakai masker).
Kegiatan dan fasilitas tersebut dijajakan oleh perusahaan-perusahaan yang tersebar di kawasan tersebut, di antaranya yang kebetulan kami kunjungi adalah PT. Pesona Bahari Bali Indah yang terletak di Jln. Pratama No. 96.
Ketika saya ke sana, hanyalah sekedar melihat aktifitas saja, tanpa ikut menikmati. Maklum, tujuan ke sini hanyalah sekedar menikmati perjalanan saja, ala backpaker.
Di bandingkan dengan pantai Kuta menurut saya pantai Geger lebih indah, bersih dan nyaman. Lokasinya agak tersembunyi, yaitu di sebuah Desa adat Peminge, Nusa Dua.

Jika di Kuta sangat berisik dan hingar bingar dengan suara musik, penjaja makanan, dan pengunjung, maka di sini suasananya sangat tenang. Tidak ada karcis masuk, hanya biaya parkir saja.

Pantai nya masih banyak ditumbuhi rumput laut, dan juga merupakan tempat yang menarik untuk memancing. Ketika saya kesana ada beberapa orang yang terlihat sedang beraktifitas memancing.
Uluwatu adalah nama sebuah pura tua, yang terletak di atas tebing karang yang menjorok ke lautan lepas. Sementara dinding tebing karangnya sendiri hampir tegak lurus ke laut di bawahnya. Lokasinya berada di ujung “sepatu” pulau Bali, tepatnya yaitu di desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan. Berjarak kurang lebih

Menurut informasi bahwa, pura ini merupakan salah satu dari tujuh pura tua yang menjadi pilar agama Hindu di Bali yang merupakan warisan dari Empu Kuturan dan Sang Hyang Dwijendra pada abad ke XI dan XV. Di kawasan ini juga hidup seratusan monyet-monyet yang usil. Ketika kami memasuki kawasan tersebut, penjaga kawasan wisata sudah memperingatkan agar menjaga barang-barang bawaan terhadap topi, kamera, tas, dan kacamata, karena monyet-monyet di sana suka main rampas dan membuangnya begitu saja.

Untuk memasuki area ini, pengunjung diwajibkan menggunakan sehelai kain ungu dan selendang kuning dengan menyewanya di pintu masuk, sebesar Rp 3.000,- (sudah termasuk tiket masuk). Area parkir sangat luas, dan banyak kios-kios penjual cindra mata, makanan dan minuman. Sungguh tempat yang menarik.
Kalau mau berenang di Pantai Kuta saat ini, siap-siap kecele. Pasalnya saat ini pantainya sangat kotor, banyak sekali sampah berserakan. Hal ini disebabkan akibat banjir di daerah lain yang sampah-sampahnya masuk ke laut kemudian terdampar di kawasan pantai ini.

Sunset pun tidak menampakan wujudnya, tertutup awal tebal. Angin pun bertiup sangat keras dan sangat dingin, tidak seperti biasanya. Mau renangpun akhirnya diurungkan.

Mungkin perlu dirubah jadwal cuti, tidak lagi akhir tahun, melainkan pertengahan tahun?
Akhirnya, saya kembali ke penginapan, posting berita ini, dan tidur!!!
Alas Kedaton berlokasi di Desa Kukuh Kecamatan Marga, kota Tabanan. Ada dua hal yang menarik di tempat ini, yaitu : Monyet-monyetnya, yang berjumlah sekitar 300-an yang terbagi dalam 3 kelompok. Di mana setiap kelompok dipimpin satu raja dengan postur tubuh yang berukuran cukup besar. Berbeda dengan monyet di Uluwatu yang agak sedikit sangar, monyet di sini cenderung jinak. Kedua adanya kalong (kelelawar) yang berterbangan di atas pohon besar belakang pura.

Letak pura ini sendiri ada di dalam hutan Alas Kedaton. Memasuki areal pura, pengunjung akan diantar oleh perempuan-perempuan penjaja dagangan souvenir yang sekaligus sebagai guide-nya. Menarik, karena hanya di tempat ini para pedagang sangat tertib. Mereka memiliki nomor antri untuk bisa mengantar pengunjung berkeliling Alas Kedaton. Selesai berkeliling mereka akan mengajak tamunya mampir di toko mereka dan mencoba menawarkan dagangannya.
Semula, kami hanya akan memberi tips saja. Tetapi karena perempuan tersebut menolak, dan rupanya mereka lebih senang agar kita membeli dagangannya saja.
Dan akhirnya saya beli kaos, gantungan kunci, dan alat musik. Ternyata tidak terlalu mahal.

Jawa-Bali Overland : Daun Berguguran di Baluran

Berangkat dari rumah tanggal 1 Januari 2008, pkl 09.29 dengan tujuan Bali. Ikut dalam team : anak saya Adriel dan Debby, istri saya Komalasari, dan asisten rumah tangga, Yanto.

Kata orang ke Bali itu mahal, masa sih? Menurut saya enggak juga. Kecuali jika ingin dibawa mahal. Berikut biaya pengeluaran selama perjalanan :
Bensin Rp 100.000,- setiap kali pengisian, dikalikan 4 kali isi (SPBU Cikampek, Tegal, Pati, dan Paiton), sehingga total Rp 400.000,-.

Biaya Tol Rp 32.000,- masing-masing terdiri dari Tol Rorotan Rp 6.000, Cikampek Rp 8.500, Kanci Rp 3.500, Plumbon Rp 3.500, Dupak Rp 3.000, Porong Rp 3.000, Kebomas Rp 5.500,-.

Biaya Ferry Rp 90.000,-
Sehingga total pengeluaran adalah Rp 522.000,-.

Bagaimana dengan makanan? Sudah disiapkan sebelumnya dari rumah sehingga untuk hari pertama praktis tidak ada pengeluaran sama sekali.

Bagaimana dengan penginapan? Pilihlah penginapan yang agak jauh dari lokasi wisata, tetapi tidak juga terlalu jauh dari lokasi wisata. Selama ini, jika saya ke Bali selalu menginap di Bima Cottage di Jalan Kuta. Harga nya cukup murah mulai dari Rp 50.000,- sampai dengan Rp 130.000,- (include AC , TV dan sarapan). Setahu saya tidak ada lagi yang lebih murah dari harga tersebut. Hanya saja pelayanannya agak sedikit “standar” (kurang memuaskan).

Tiba di penginapan Kuta pkl 16.30 (wib), lengkapnya : sampai di Cikampek (10.39), Indramayu (11.33), Tegal (15.15), Pemalang (15.46), Pekalongan (16.30), Semarang (18.15), Kudus (20:38), Surabaya (03.00), Pasuruan (03:08), Probolinggo (06:54), Banyuwangi (10:15). Istirahat sebanyak 3 kali, yaitu di Tol Kanci, Yuwana, dan Paiton. Sedangkan lama perjalanan di kapal ferry adalah 1 jam. Sebagai perbandingan, jika naik bis dibutuhkan waktu 26 jam. Perjalanan saya sendiri saat ini adalah : butuh 31 jam, cukup lama. Lha ngapain berlama-lama di perajalanan? He … he … justru di situlan seninya jalan …

Gambar di atas adalah salah satu keindahan alam yang sempat saya photo, ketika melintasi Taman Nasional Baluran. Daun jati yang berguguran nantinya akan tumbuh kembali.