Dari Taman Jaya, berlayar menuju Pulau Peucang

Jam menunjukkan pukul 18.00 wib lebih sedikit, tetapi tanda-tanda kapal mau sandar dari Sumur menuju Taman Jaya, belum terlihat. Sambil menunggu pemberangkatan, kami makan dulu di rumah makan yang lokasinya tak jauh dari penginapan Sunda Jaya. Perbekalan pun sudah kami beli dan masukan ke dalam backpack, seperti: air mineral, roti keju, dan pop mie cup. Juga lotion anti nyamuk, khawatir di sana dikerubutin nyamuk.

Sekitar pukul 20.00 wib, kapal baru sandar, ABK dan Captain bergegas ke rumah masing-masing, yang rupanya tinggal di Taman Jaya, sekedar mampir dan berpamitan dengan keluarga karena akan kembali berlayar.

Beberapa ABK yang lain, nampak sibuk memasukan beberapa jirigen solar ke dalam kapal mereka. Kabarnya saat ini solar sudah sangat mahal di Taman Jaya. Tetapi buat mereka tidak masalah jika memang harus mahal, yang penting ada. Masalah yang seringkali dihadapi penduduk dan nelayan di sini, justru sering kali bahan bakar tersebut tidak ada.

Saat itu dermaga Taman Jaya sangat gelap, karena tidak dilengkapi lampu penerangan. Beruntung saat itu sedang bulan purnama, sehingga mampu menyinari dikegelapan malam dermaga meskipun masih agak remang-remang. Semua perbekalan di naikan ke kapal, dan berangkatlah kami bersama 2 ABK dan 1 orang captain kapal, menuju Pulau Peucang. Ah, senangnya ...

Kami duduk di palka, persis di depan kemudi. Laut saat itu sangat tenang, nyaris seperti berlayar di danau, tidak ada ombak. Sehingga sempat tertidur pulas karena seperti diayun-ayunkan. Pukul 23.30 kami terbangun dan ternyata hampir sandar di dermaga Peucang. Dari kejauhan nampak ada 2 buah kapal yang sedang sandar (kabarnya sedang mengantar turis-turis dari Australia), dan di atasnya terlihat banyak yang memancing di pantai tersebut. Pemandangan yang sangat menarik.

Sampai di dermaga Peucang sudah dini hari, sehingga kami tidak begitu berani lagi untuk turun dan mencari penginapan di tempat yang masih asing bagi kami. Kami putuskan untuk tetap tidur di atas kapal, hingga pagi hari, sebagaimana saran Pak Komar ketika sebelum berangkat. Satu persatu orang yang semula mancing, meninggalkan dermaga untuk tidur di penginapan. Tinggal saya dan istri dan beberapa ABK yang masih mengawasi kapal mereka. Istri saya tidur di dalam kapal, sementara saya di palka. Paginya, istri saya cerita kalau dia tidak bisa tidur, sementara saya tidur terlelap plus ngorok (bersambung).

Air Panas Cibiuk di Kawasan Konservasi

Malam ini saya menginap di homestay-nya Pak Komar, Sunda Jaya. Saya berharap tadinya di tempat ini akan ketemu banyak kawan-kawan dari milis komunitas backpacker Indonesia (Indobackpacker), yang satu tujuan dengan saya ke Pulau Peucang. Tetapi rupanya hanya ketemu dengan satu orang saja, dari Bandung. Sehingga rencana menyewa sebuah kapal pun gagal, karena biayanya menjadi sangat mahal, Rp 1.500.000,- pulang pergi.

Sesuai saran Pak Komar, sebaiknya ikut saja kapalnya, yang kebetulan akan menjemput turis dari Cekoslovakia dan juga dari kelompok Actur (Auto 2000 Adventure) tetapi nanti malam. Sip lah … saran tersebut akhirnya saya setujui dengan biaya hanya sebesar Rp 250.000,- pulang pergi untuk 2 orang.

Keesokan harinya, sambil menunggu berangkat ke Peucang, seharian kami habiskan waktu di perkampungan tradisional Taman Jaya, areal persawahan, dan terakhir air panas Cibiuk, di kawasan hutan konservasi.

Penduduk di sini sangat ramah, sepanjang perjalanan selalu saja ada yang menyapa. Jalan-jalan desa itu cukup luas, meskipun belum beraspal, hanya tersusun dari batu-batuan kali yang berukuran cukup besar. Di kiri-kanan jalan banyak ditemui rumah-rumah panggung. Terlihat ada seorang Ibu yang sedang mencari kutu anak remajanya, ada yang sedang menyapu, ada juga yang lagi netekin anaknya. Beberapa rumah di antaranya terlihat memiliki parabola, karena saluran televisi di sini tidak terjangkau oleh antena TV biasa. Semakin jauh kaki ini melangkah, semakin lama, rumah-rumah penduduk semakin jarang, hingga akhirnya tidak ada lagi, sudah berada di sawah.

Menarik, memperhatikan para petani yang sedang menandur di area sawah yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan yang dilatarbelakangi gunung Honje dan Cibiuk

Berjalan di antara pematang sawah yang sempit dan agak sedikit lembek, adalah kesempatan yang jarang terjadi. Sesekali saya berusaha mengimbangi langkah kami di antara pematang sawah, yang nyaris kehilangan keseimbangan, karena perut yang sekarang sudah agak membuncit.

Peluh keringat membasahi sekujur badan, ternyata kami sudah berada di perbatasan hutan yang sejuk, rimbun dengan gemerincing aliran sungai kecil dari dalam hutan menuju persawahan. Tempat yang mengasyikan, berharap kami bisa menjumpai banyak binatang liar di sini. Perjalanan di tengah hutan yang berliku-liku dan menanjak penuh perjuangan itu, berakhir di tempat air panas Cibiuk.

Sambil beristirahat, dari kejauhan nampak beberapa ekor lutung (Presbytis cristata) bergelayutan di atas pohon, dan suara-suara burung yang saling bersahutan. Beberapa serangga kupu-kupu pun tak luput menjadi incaran kami untuk didokumentasikan.

Bak, seorang tour guide, Pak Komar pun bercerita, sambil menunjuk kesebuah tanaman bahwa ini adalah tanaman Songgom, daun kesukaan Badak Jawa, selain selungkar dan pucuk rotan. Ditambahkan, bahwa badak kalau makan, biasanya sambil jalan dan lurus. Lucu juga ya … Lalu, kalau ketemu Badak di tengah jalan dan mengejar kita? Instri saya menimpali, “gampang, tinggal belok saja, kalau perlu zigzag, bebas dech …”.

Bersyukurlah, kalau ketemu Badak, penduduk sini belum tentu ada yang pernah melihat badak secara langsung. Pak Komar sendiri menurut penuturannya sudah 10 kali berjumpa langsung. Jadi ingin ketemu … Kabarnya Badak sering ditemui di Sungai Cigenter, Cidaon, Handeleum, Citandahan dan Cibunar. Kalau beruntung, badak bisa ditemui di musim panas. Biasanya dia akan menuju sungai untuk minum, jadi tinggal tunggu saja di situ.

Menjelang sore, kami kembali ke ladangnya Pak Komar, dan disuguhi kelapa muda. Ah seger banget … Tidak lama kemudian, makanan diantarkan oleh istrinya Pak Komar, sayur kulit melinjo, ikan asin, lalap timun dan terong, serta sayur jamur. Wuih uenaknya… Istrinya rupanya memang jago masak, atau memang lagi lapar berat? He he he… Gabungan keduanya.

Sehabis makan, kami kembali ke homestay, tidur. Mempersiapkan perjalanan nanti malam menuju Pulau Peucang (Bersambung).

Perjalanan Menuju Ujung Kulon

Pagi itu, cuaca sangat cerah, saya pikir ini pertanda baik untuk mewujudkan rencana perjalanan yang sudah saya siapkan sekitar dua minggu sebelumnya, Pulau Peucang, Taman Nasional Ujung Kulon.

Berangkat dari rumah dengan istri sekitar pukul 08.20 wib menuju terminal bis Tanjung Priok. Memakai celana pendek buntung dan baju kaos plus topi, dan tas punggung (enggak sadar, kalau sudah tua … biarin aja dech).

Sengaja perjalanan kali tidak membawa kendaraan, asli menjadi backpacker, karena beberapa alasan. Pertama, saya masih belum tahu rute menuju Taman Nasional Ujung Kulon. Kedua, masih ragu, apakah kendaraan bisa sampai di lokasi yang akan saya tuju, yaitu desa terakhir sebelum masuk ke Ujung Kulon, Taman Jaya?. Ketiga, diharapkan bisa menekan biaya pengeluaran, serendah mungkin. Keempat, menjadi backpacker adalah hobby.

Celingak celinguk mencari-cari bis tujuan Labuan, ternyata tidak ada. Menurut informasi yang saya peroleh dari beberapa pedagang di sekitar terminal, ternyata bisnya sudah berangkat, sebelum pukul 07.00 wib. Bener atau enggak, saya enggak tahu persis. Lucu juga jika baru sampai Priok saja sudah bingung, apalagi kalau sampai dikibulin … para calo … bisa kacau nih he he he…

Sementara berpikir, tiba-tiba seorang kondektur Bis Aseli Prima, menawarkan jasanya supaya kami mau menggunakan bis tersebut. Sambil merayu, katanya, “naik bis ini saja, murah koq”. Loh … berarti cara saya berpakaian rupanya sudah sesuai dengan harapan saya, murah. Tanpa pikir panjang, segera saya naik ke bis tersebut.

Pukul 09.18, bis yang kami tumpangi langsung meluncur meninggalkan terminal, menuju Serang. Sudah lama tidak naik bis, ternyata sekarang makin meriah euy … Pedagang asongan bergantian membagikan barang dagangan, mulai dari buku-buku agama, buku pelajaran, alat tulis, makanan kacang, permen jahe, hingga makanan berat semisal, Kiss Bakery Donuts dalam satu dus. Semua dibagikan … apa enggak khawatir hilang ya?

Dengan membayar ongkos Rp 16.000,- saja, akhirnya kami tiba di Serang pada pukul 11.30 wib. Untuk menghemat waktu, segera kami lanjutkan perjalan dengan menggunakan Bis All Falah menuju Labuan. Bis tersebut ternyata sudah penuh sesak. Terpaksalah kami berdiri, tetapi tidak lama, karena beberapa saat kemudian ada beberapa penumpang yang turun. Naik bis ini sebetulnya kurang nyaman, ukuran nya besar, sementara jalanan tidak begitu lebar, berbelok-belok dan ngebut pula. Ini masalahnya … jadi bikin sedikit mual (Loh, katanya backpacker?... emangnya backpacker enggak boleh mual !)

Sekitar 2 jam perjalanan dan ongkos Rp 10.000,- akhirnya kami sampai di Terminal Tarogong. Semula saya berpikir bis ini, akan sampai di Labuan, ternyata hanya sampai di terminal tersebut. Perjalanan kami lanjutkan dengan menggunakan angkot menuju Labuan dengan ongkos Rp 3.000,-. Jaraknya ternyata tidak terlalu jauh.
Sudah menjadi kebiasaan saya, jika ke suatu tempat yang baru saya kunjungi, saya tidak akan memasang muka bingung. Dan saya tidak segera bertanya-tanya ke para tukang ojek yang sudah mengepung saya. Saya katakan, maaf, tujuan saya adalah tempat makan, warung Padang. Tetapi rupanya warung Padang pun enggak ketemu juga … he he he, sepertinya orang Padang kurang berniat jualan di daerah sini? Cuma ada penjual kupat tahu. Perjalanan boleh jauh, tetapi urusan perut harus didahulukan, jadilah saya sikat. Saya tanya-tanya ke pedagang kupat tahu, di mana lokasi stasiun Isuzu ELF. Rupanya yang namanya stasiun cuma sekedar tempat mangkal saja, yang justru sudah saya lewati. Jadi, tidak ada terminal khusus.

Sesuai informasi dari karyawan kantor PLN, yang kebetulan saya temui, sambil numpang pipis di kantornya. bahwa kendaraan menuju ke sana hanya sampai pukul 10.00 wib. Wah ... tanda-tanda kekacauan sudah mulai menghadang.

Sesuai sarannya, terpaksa harus balik lagi ke terminal Tarogong, mencari kendaraan ELF juga tetapi tujuan Cibaliung, atau lebih dikenal dengan nama Kampung Sawah.

Akhirnya, kendaraan menuju ke sana sudah saya peroleh. Sayangnya, walaupun saya sudah duduk cukup lama, kendaraan ini enggak jalan-jalan juga ... capek dech … Kelamaan ngetem, menunggu penumpang hingga penuh. Saya mulai khawatir kalau sampai hutan nantinya kemalaman karena tempat tersebut belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Kegelisahaan saya, akhirnya hilang, ketika mobil sudah distarter oleh sang sopir, kendaraan pun siap diberangkatkan.

Ada beberapa kejadian unik selama perjalanan dari Tarogong – Cibaliung, karena dalam setiap menaikan penumpang, selalu saja mereka kenal semua penumpang, bertegur sapa. Pokoknya rame !!! Suatu hal yang menarik. Padahal jarak Tarogong – Cibaliung - Sumur, cukup jauh, ongkos saja Rp 20.000,- per orang.


Kejadian aneh lainnya, setiap berhenti di suatu tempat, supir pun ikut turun. Ada saja urusannya tuh sopir, beli rokoklah, ngobrol ngalor ngidul dulu dengan temannya (mungkin ngobrolin arisan), dan terakhir sempat-sempatnya tuh supir pesan martabak … Ini yang bikin saya kesal. Tetapi anehnya penumpang lain tidak ada yang complain?. Saya tidak tahu, mungkin karena jarangnya kendaraankah? sehingga supir bisa berbuat semaunya saja?.

Entah di daerah apa, saya tidak tahu persis, kemudian saya di over menggunakan angkot menuju Sumur. Di mana, di dalamnya sudah ada tumpukan gabah berkarung-karung. Buset! Saya enggak mau numpuk dengan gabah, jadi saya pilih duduk di depan dekat pak sopir, sementara tas punggung saya taruh di belakang.

Ternyata naik angkot ini pun, bikin kesal juga, bayangkan saja, masa saya harus ikut-ikutan mengantar gabah-gabah ini masuk ke kampung-kampung mencari alamat yang ternyata tidak jelas. Sementara saya sedikit dag dig dug, karena harus berkejaran dengan waktu, yang semakin sore.

Perjalanan dengan angkot ini, akhirnya berakhir juga di kecamatan Sumur. Untuk melanjutkan perjalanan, saya harus menggunakan ojek ke desa terakhir, Taman Jaya. Seperti biasa, saya tidak menunjukan muka bingung. Saya hanya sampaikan bahwa saya mau ke rumah Pak Komar, pemilik homestay Sunda Jaya, di Taman Jaya. Dengan menggunakan 2 kendaraan ojek, mereka mengantarkan saya dan tiba di lokasi tersebut pukul 19.00 wib, dengan ongkos Rp 25.000,- tetapi mengingat perjalanan yang jauh dan rusak, dengan kesadaran sendiri akhirnya kedua tukang ojek tersebut saya tambahkan menjadi Rp 30.000,-. Jadi dari Tanjung Priok menuju lokasi ini, perlu waktu sekitar 11 jam, yang seharusnya bisa ditempuh hanya 5 – 6 jam saja. Jika Anda ingin membawa kendaraan sendiri, sebetulnya tidak ada masalah, jalannya cukup bagus hingga Kecamatan Sumur. Sedangkan untuk mencapai Taman Jaya, separuh perjaanan masih beraspal walaupun agak rusak, tetapi separuhnya lagi perjalanan agak sulit, benar-benar rusak, tetapi masih bisa dilewati oleh kendaraan off road.
(Bersambung)

Kisah jadul dan kuliner di Surya Kencana

Sebetulnya ini adalah kisah jadul. Kebetulan kemarin (4/5) Kompas, menuliskan riwayat tentang kota Bogor, khususnya wisata kuliner di Jalan Surya Kencana. Membuat saya tertarik untuk mencoba menyusuri jalan-jalan di kawasan ini kembali.

Empat tahun saya kuliah di Bogor (1987 – 1991), tentu jalan ini tidaklah asing. Saya sering menikmati kesendirian dengan keluyuran malam-malam di kawasan ini. Sesuatu yang menurut saya, sangat mengasyikan. Maklum, saya seorang soliter.

Ketika itu, perjalanan dimulai dari pintu gerbang Kebun Raya Bogor, selepas turun dari angkot . Saya sangat menikmati melihat kesibukan pedagang-pedagang sayur dan buah-buahan di tempat ini. Sejak pukul 22.00 wib mereka sudah sangat sibuk menggelar dagangannya hingga esok hari..

Siang ini, saya kembali menyusuri jalan-jalan di daerah ini. Bedanya, jika dulu setiap melihat jajanan, cuma bisa melirik, tidak pernah beli, karena memang tidak punya uang. Bisa kuliah saja saat itu sudah sangat bersyukur. Pernah juga sesekali nonton di Rangga Gading atau Bogor Theater.

Dan saya baru “ngeh” kalau bioskop-bioskop itu saat ini ternyata sudah tidak ada. Waktu seolah, begitu sangat cepat berlalu, sepertinya baru juga kemarin.

Ada 16 lokasi wisata kuliner di Jalan Surya Kencana, yang ditunjukan Kompas, di antaranya: Laksa Ace, Nasi uduk cece, Es Pala Okip, Soto Bogor Maman, Lumpia Basah Anton, Roti Singapura, Asinan Lengkap, Toge Goreng Gang Besi, Soto Pak Yusuf, Bir kocok jahe Pak Acep, Asinan Jagung Gang Aut, Soto Bogor Pak Salam, Es Krim Durian Doto, Asinan Gedung Dalam, dan Toko Roti Tan Ek Tjoan.

Nanti, semua satu persatu akan saya coba cicipi, sebagai pembalasan dendam ketika saat kuliah dulu. Hari ini, akan saya coba mulai dengan mengunjungi Soto Pak Yusuf dulu.
Tahu enggak? yang namanya Soto Pak Yusuf, sebetulnya hanyalah pedagang makanan di emperan toko di jalan Surya Kencana. Hanya terdiri dari beberapa buah bangku plastic saja yang tersedia. Untuk makan di tempat, tentu saya harus antri berdiri dulu. Sebuah layanan yang sangat bersahaja. Justru di sinilah daya tarik kuliner di kawasan Jalan Surya Kencana. Itu sebabnya tidak aneh penggemar Soto Pak Yusuf yang harganya Rp 14.000,- permangkok ini sangat banyak, yang datang kebanyakan kendaraan berpelat B (Jakarta). Ketika ke sana, di samping saya ada seorang Ibu, yang paginya rupanya sudah datang tetapi kehabisan. Sore ini adalah kunjungan yang kedua, setelah yang pertama gagal, karena sudah kehabisan. Dan ternyata sorenya juga kehabisan. Ketika saya coba santap, rupanya memang enak banget.
Untuk itu saudara-saudara, saya rekomendasikan untuk coba mencicipi !.