Ngeteh yuk ...

Kebetulan saja, kemarin saya ada janji dengan seorang kawan yang di kantornya akan pasang jaringan data. Kami mendiskusikan upaya mewujudkan rencana tersebut, bersama dengan salah satu provider yang kami usulkan kepadanya.

Jadilah kami berempat mengadakan pertemuan tersebut sepulang dari kantor, di kawasan Kelapa Gading. Beberapa pertimbangan, mengapa mengadakan pertemuan di luar kantor. Kalau diadakan di kantor sepertinya tidak enak, karena ini tidak menyangkut pekerjaan di kantor saya.

Tempat yang saya pilih adalah The Tea Gallery, tepatnya di jalan Boulevar Kelapa Gading level groundshop 38. Semula memang janjiannya di Starbuck, tetapi karena saya tidak biasa ngopi, akhirnya diputuskan untuk memilih nge-teh, yang kebetulan letaknya tidak jauh dari starbuck. Sekalian hunting tempat tongkrongan baru. Dan rupanya memang tempatnya enak dan nyaman.

Ada sekitar 200-an jenis teh yang ditawarkan, yang menunya terletak di salah satu sisi dinding, sangat menarik. Menikmati teh, memang tidak seenak minum kopi. Pahit dan sedikit wewangian khas teh di campur bunga-bunga-an yang saya tidak tahu persis jenisnya, tergantung dari jenis teh yang dipilih. Tetapi yang pasti bahan dasar teh ini berasal dari tanaman yang disebut Camelia sinensis, yang menghasilkan beberapa produk varian seperti oolong tea, white tea, green tea, dan black tea. Atau campuran dari selain C sinensis, seperti dari herbal tea dan fruit tisane (rempah-rempahan, bunga dan buah).

Ketika disodorkan menu dalam buku hijau mungil yang cantik, saya agak bingung juga untuk memilih. Maklum sebelumnya tidak pernah ke sini. Tetapi agar tidak kelihatan norak, saya asal tunjuk saja, yaitu osmanthus dan mini tuo cha.

Beberapa menit kemudian, seorang pelayan membawa sebuah poci kaca yang berisi air teh panas, yang siap dituangkan ke dalam cangkir. Rasanya memang sedikit aneh ada rasa wangi bunga, sehingga untuk sementara saya masih belum bisa menikmati, ketimbang teh yang tadi siang saya minum di Mangga Dua Mall, teh Upet, manis dan sepet.

Ketimbang minum kopi, minum teh ternyata lebih banyak manfaatnya untuk kesehatan tubuh, di antaranya adalah dapat mengurangi resiko kanker, mencegah penurunan system kekebalan tubuh, mencegah penyakit jantung, stroke, dan prostat. Hal ini disebabkan senyawa antioksidan di dalam the yang disebut polyphenol dan enzim polifenol oksidase yang mampu melawan kanker. Selain itu daun teh juga banyak mengandung vitamin, di antaranya : Vitamin B kompleks, C, dan E yang mampu memperkuat daya tahan tubuh dan juga menunda penuaan. Daun teh juga mengandung fluoride yang memperkuat gigi.
Penelitian terakhir, seperti yang ditulis oleh Dr David Gozal dan koleganya di University of Louisville School of Medicine di Kentucky dalam American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, May 15, 2008 bahwa zat aktif yang ada di dalam teh hijau dapat menangkal kerusakan saraf akibat gangguan napas pada mereka yang mengalami gangguan tidur. Gangguan tidur ini menyebabkan terhalangnya saluran napas, sehingga napas terhenti tiba-tiba sepanjang tidur malam, hingga beberapa kali.

Sebagai informasi, bahwa ada beberapa macam jenis teh, perbedaan ini terletak pada metoda pemrosesan setelah daun teh di petik, di antaranya adalah Green Tea, di hasilkan dari pucuk teh yang dikeringkan secara langsung tanpa tahap pelayuan, sehingga enzim polifenol oksidase menjadi inaktif, mengandung polifenol jenis epigalokatekin galat (EGG); The oolong, dihasilkan dari pucuk teh yang dilayukan sekitar 1-2 jam; dan Black Tea, dihasilkan dari pucuk the yang dilayukan sekitar 6 jam, mengandung pofenol jenis tehaflavin galat (TFG).

Melihat manfaat ini, sepertinya saya memang harus merubah kebiasaan yang selama ini selalu minum air putih, untuk membiasakan minum teh.

Ada apa dengan badak Jawa?

Berkunjung Ke Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), seperti tidak ada artinya jika tidak membahas tentang Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) yang saat ini jumlahnya hanya sekitar 55 ekor saja. Dulu, kabarnya badak ini tersebar di Jawa seperti Gunung Slamet, Kedu, Wonosobo, Rembang, Nusa Kambangan, Gunung Ciremai, Priangan Selatan, Pelabuhan Ratu, Telaga Warna, dan Garut serta Sumatra Selatan. Tetapi saat ini keberadaan hewan tersebut hanya ada di TNUK. Sehingga tidak heran jika TNUK saat ini menjadi satu-satunya tempat di dunia yang menjadi rumah terakhir bagi badak Jawa, yang dijadikan sebagai kawasan konservasi dan World Heritage Site yang ditetapkan oleh Komisi Warisan Dunia UNESCO.

Sifatnya yang soliter dan sangat peka terhadap kehadiran manusia membuat badak ini sangat sulit ditemui. Bahkan penduduk yang sudah bertahun-tahun tinggal di sini pun belum tentu pernah ketemu hewan bercula tersebut.

Dari jaman saya kuliah dulu hingga saat ini ternyata jumlah tersebut belum juga bertambah. Mengapa sih jumlahnya tetap segitu, apakah ada yang salah dalam pengelolaan? Atau bisa jadi penelitian WWF dan Yayasan Rhino itu memang benar, bahwa ada persaingan antara banteng dan badak dalam sediaan makanan. Tetapi masa sih, hutan yang begitu luas, tidak mampu menampung hewan yang jumlahnya menurut saya belum seberapa itu?. Nampaknya sampai saat ini masih menjadi tanda tanya.

Oh ya, ada cerita lucu, bahwa ternyata kadang-kadang penduduk di sini suka menggunakan kotoran badak untuk dijadikan rokok. Jadi kotoran badak itu diisap ke mulutnya, katanya harum hmmm …

Sore itu, kami kembali ke Jakarta, tetapi tidak lagi ke Taman Jaya, melainkan melalui langsung Sumur. Sampai di rumah sudah dini hari, pukul 00.30 wib, karena langsung menjemput anak-anak saya yang saya titipkan di rumah orang tua. hi hi hi … dasar orang tua geblek.
(Photo di atas diambil dari situsnya Departemen Kehutanan, kalau tidak salah yang photo Allan Compost?, betul enggak ya?).
Perjalanan kami selanjutnya, adalah padang penggembalaan Cidaon, rencananya sih mau melihat kumpulan banteng (Bos javanicus) yang sedang merumput. Untuk memasuki kawasan ini rupanya harus membayar lebih dulu di pos penjagaan Balai Taman Nasional Ujung Kulon Resort Peucang, sebesar Rp 10.000,- . Dengan menggunakan kapal motor kami menyeberangi laut sekitar 20 menit, akhirnya sampailah di dermaga Cidaon.

Sesuai ketentuan TNUK bahwa, untuk memasuki kawasan ini, pengunjung harus di antar oleh pemandu setempat. Kami trekking dari dermaga menuju padang penggembalaan, yang rupanya tidak terlalu jauh, hanya butuh kurang lebih 10 menit perjalanan saja.

Sesampainya di sini, saya menaiki menara pengintai yang tingginya kurang lebih 5 meter-an. Dari menara pengintai ini seharusnya saya bisa melihat kawanan banteng. Namun sayang sekali, mungkin karena waktu yang tidak tepat, kami tidak melihat seekor pun banteng yang nongol. Rupanya untuk melihatnya, harus sore hari. Kekecewaan tersebut terobati dengan adanya beberapa ekor burung merak yang sempat terlihat dari kejauhan. Bagi saya, melihat burung merak sudah sering, tetapi melihat di habitat alaminya, tentu merupakan kejadian langka.

Menurut informasi, bahwa jumlah populasi Banteng di TNUK, pada tahun 1970 yang dicatat oleh Hoogerwerf berjumlah 100 ekor. Tahun 1978 jumlahnya meningkat menjadi 200 ekor (Blower dan Zon, 1978), kemudian bertambah lagi menjadi 748 ekor (TNUK, 1984), dan pada tahun 1997 penelitian yang dilakukan oleh Dr. Harini tercatat sudah mencapai 905 ekor.

Kabarnya, menurut informasi penelitian terakhir yang dilakukan oleh Yayasan Mitra Rhino dan WWF di sini, bahwa besarnya jumlah populasi banteng ternyata mempengaruhi laju perkembangbiakan badak Jawa (Rhino sondaicus), yang menjadi primadona TNUK. Persaingan ini diduga diakibatkan oleh menyusutnya padang penggembalaan dan bertambahnya populasi banteng, sehingga perilaku makan banteng menjadi berubah, yaitu semakin masuk ke dalam hutan. Kedua binatang herbivora ini saling bersaing dalam memakan tumbuhan yang sama. Persaingan ini mengakibatkan sediaan makanan bagi badak menjadi berkurang. Akibatnya pola aktifitas dan pemakaian ruang jelajah pun berpengaruh pada kualitas hidup dan perkembangan badak. Hal ini mudah dipahami karena banteng hidup dalam berkelompok sehingga mudah dalam melakukan reproduksi. Berbeda dengan badak yang cenderung soliter, ditambah gangguan banteng menyebabkan kualitas hidup badak menjadi kurang.

Sekitar pukul 10.00 wib kami kembali berlayar ke Pulau Peucang, sambil makan nasi goreng yang disiapkan oleh ABK. Wah asyiknya …
Matahari sudah mulai menampakan sinarnya di ufuk Timur. Tidak ingin melewatkan sunrise begitu saja, segera saya membasuh muka di toilet kapal. Huh … airnya ternyata asin. Kami turun dari kapal, menjejakan kaki di Pulau Peucang, yang menurut Pak Komar merupakan tempat terindah di Taman Nasional Ujung Kulon. Ternyata memang benar. Pantai dengan pasir yang putih, laut yang biru dan jernih hingga gerombolan ikan pun yang nampak hitam terlihat jelas dari pantai.

Kami menyusuri pantai di bawah hangatnya sinar matahari pagi. Pasir putih di sini agak berbeda dengan pasir seperti di Pantai Kuta yang jika diinjak langsung terperosok ke dalam. Pasir di sini agak padat, seperti "tanah" biasa saja, hanya saja berwarna putih.

Beberapa ekor burung sempat kami dokumentasikan dengan lensa tele berukuran 75 – 300 mm yang kami bawa. Di tengah-tengah laut, nampak beberapa kapal, di antaranya berisi turis dari Australia dan beberapa pemancing. Pantai Peucang memang sorga penikmati orang yang hobby mancing, selain snorkeling dan diving.

Pulau Peucang adalah pulau kecil dan termasuk dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Nama Peucang diambil dari nama sejenis siput yang sering dijumpai di pantai ini ada juga yang menyebutnya diambil dari nama sejenis menjangan yang tinggal di kawasan ini. Untuk masuk kawasan ini, pengunjung cukup membayar Rp 2.500 per orang. Di sini juga tersedia penginapan, yang harganya cukup bervariasi, Flora A Rp 780.000,- (6 kamar, AC), Flora B Rp 680.000,- (6 kamar, AC), Fauna Rp 400.000,- (8 kamar). Ada juga hitungan berdasarkan perkamar, yaitu Rp Rp 150.000,- Rp 250.000,- perhari (tanpa AC). Beberapa obyek menarik lainnya di pulau ini adalah, Karang Copong, tetapi sayang kami tidak sempat ke sana, karena untuk ke tempat ini enaknya pas waktu sunset. Sementara waktu saya sudah sangat terbatas. Perjalanan kami lanjutkan ke Cidaon yang jaraknya lebih dekat dengan menggunakan kapal motor-nya Pak Komar, untuk melihat banteng di habitat alaminya (bersambung).

Dari Taman Jaya, berlayar menuju Pulau Peucang

Jam menunjukkan pukul 18.00 wib lebih sedikit, tetapi tanda-tanda kapal mau sandar dari Sumur menuju Taman Jaya, belum terlihat. Sambil menunggu pemberangkatan, kami makan dulu di rumah makan yang lokasinya tak jauh dari penginapan Sunda Jaya. Perbekalan pun sudah kami beli dan masukan ke dalam backpack, seperti: air mineral, roti keju, dan pop mie cup. Juga lotion anti nyamuk, khawatir di sana dikerubutin nyamuk.

Sekitar pukul 20.00 wib, kapal baru sandar, ABK dan Captain bergegas ke rumah masing-masing, yang rupanya tinggal di Taman Jaya, sekedar mampir dan berpamitan dengan keluarga karena akan kembali berlayar.

Beberapa ABK yang lain, nampak sibuk memasukan beberapa jirigen solar ke dalam kapal mereka. Kabarnya saat ini solar sudah sangat mahal di Taman Jaya. Tetapi buat mereka tidak masalah jika memang harus mahal, yang penting ada. Masalah yang seringkali dihadapi penduduk dan nelayan di sini, justru sering kali bahan bakar tersebut tidak ada.

Saat itu dermaga Taman Jaya sangat gelap, karena tidak dilengkapi lampu penerangan. Beruntung saat itu sedang bulan purnama, sehingga mampu menyinari dikegelapan malam dermaga meskipun masih agak remang-remang. Semua perbekalan di naikan ke kapal, dan berangkatlah kami bersama 2 ABK dan 1 orang captain kapal, menuju Pulau Peucang. Ah, senangnya ...

Kami duduk di palka, persis di depan kemudi. Laut saat itu sangat tenang, nyaris seperti berlayar di danau, tidak ada ombak. Sehingga sempat tertidur pulas karena seperti diayun-ayunkan. Pukul 23.30 kami terbangun dan ternyata hampir sandar di dermaga Peucang. Dari kejauhan nampak ada 2 buah kapal yang sedang sandar (kabarnya sedang mengantar turis-turis dari Australia), dan di atasnya terlihat banyak yang memancing di pantai tersebut. Pemandangan yang sangat menarik.

Sampai di dermaga Peucang sudah dini hari, sehingga kami tidak begitu berani lagi untuk turun dan mencari penginapan di tempat yang masih asing bagi kami. Kami putuskan untuk tetap tidur di atas kapal, hingga pagi hari, sebagaimana saran Pak Komar ketika sebelum berangkat. Satu persatu orang yang semula mancing, meninggalkan dermaga untuk tidur di penginapan. Tinggal saya dan istri dan beberapa ABK yang masih mengawasi kapal mereka. Istri saya tidur di dalam kapal, sementara saya di palka. Paginya, istri saya cerita kalau dia tidak bisa tidur, sementara saya tidur terlelap plus ngorok (bersambung).

Air Panas Cibiuk di Kawasan Konservasi

Malam ini saya menginap di homestay-nya Pak Komar, Sunda Jaya. Saya berharap tadinya di tempat ini akan ketemu banyak kawan-kawan dari milis komunitas backpacker Indonesia (Indobackpacker), yang satu tujuan dengan saya ke Pulau Peucang. Tetapi rupanya hanya ketemu dengan satu orang saja, dari Bandung. Sehingga rencana menyewa sebuah kapal pun gagal, karena biayanya menjadi sangat mahal, Rp 1.500.000,- pulang pergi.

Sesuai saran Pak Komar, sebaiknya ikut saja kapalnya, yang kebetulan akan menjemput turis dari Cekoslovakia dan juga dari kelompok Actur (Auto 2000 Adventure) tetapi nanti malam. Sip lah … saran tersebut akhirnya saya setujui dengan biaya hanya sebesar Rp 250.000,- pulang pergi untuk 2 orang.

Keesokan harinya, sambil menunggu berangkat ke Peucang, seharian kami habiskan waktu di perkampungan tradisional Taman Jaya, areal persawahan, dan terakhir air panas Cibiuk, di kawasan hutan konservasi.

Penduduk di sini sangat ramah, sepanjang perjalanan selalu saja ada yang menyapa. Jalan-jalan desa itu cukup luas, meskipun belum beraspal, hanya tersusun dari batu-batuan kali yang berukuran cukup besar. Di kiri-kanan jalan banyak ditemui rumah-rumah panggung. Terlihat ada seorang Ibu yang sedang mencari kutu anak remajanya, ada yang sedang menyapu, ada juga yang lagi netekin anaknya. Beberapa rumah di antaranya terlihat memiliki parabola, karena saluran televisi di sini tidak terjangkau oleh antena TV biasa. Semakin jauh kaki ini melangkah, semakin lama, rumah-rumah penduduk semakin jarang, hingga akhirnya tidak ada lagi, sudah berada di sawah.

Menarik, memperhatikan para petani yang sedang menandur di area sawah yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan yang dilatarbelakangi gunung Honje dan Cibiuk

Berjalan di antara pematang sawah yang sempit dan agak sedikit lembek, adalah kesempatan yang jarang terjadi. Sesekali saya berusaha mengimbangi langkah kami di antara pematang sawah, yang nyaris kehilangan keseimbangan, karena perut yang sekarang sudah agak membuncit.

Peluh keringat membasahi sekujur badan, ternyata kami sudah berada di perbatasan hutan yang sejuk, rimbun dengan gemerincing aliran sungai kecil dari dalam hutan menuju persawahan. Tempat yang mengasyikan, berharap kami bisa menjumpai banyak binatang liar di sini. Perjalanan di tengah hutan yang berliku-liku dan menanjak penuh perjuangan itu, berakhir di tempat air panas Cibiuk.

Sambil beristirahat, dari kejauhan nampak beberapa ekor lutung (Presbytis cristata) bergelayutan di atas pohon, dan suara-suara burung yang saling bersahutan. Beberapa serangga kupu-kupu pun tak luput menjadi incaran kami untuk didokumentasikan.

Bak, seorang tour guide, Pak Komar pun bercerita, sambil menunjuk kesebuah tanaman bahwa ini adalah tanaman Songgom, daun kesukaan Badak Jawa, selain selungkar dan pucuk rotan. Ditambahkan, bahwa badak kalau makan, biasanya sambil jalan dan lurus. Lucu juga ya … Lalu, kalau ketemu Badak di tengah jalan dan mengejar kita? Instri saya menimpali, “gampang, tinggal belok saja, kalau perlu zigzag, bebas dech …”.

Bersyukurlah, kalau ketemu Badak, penduduk sini belum tentu ada yang pernah melihat badak secara langsung. Pak Komar sendiri menurut penuturannya sudah 10 kali berjumpa langsung. Jadi ingin ketemu … Kabarnya Badak sering ditemui di Sungai Cigenter, Cidaon, Handeleum, Citandahan dan Cibunar. Kalau beruntung, badak bisa ditemui di musim panas. Biasanya dia akan menuju sungai untuk minum, jadi tinggal tunggu saja di situ.

Menjelang sore, kami kembali ke ladangnya Pak Komar, dan disuguhi kelapa muda. Ah seger banget … Tidak lama kemudian, makanan diantarkan oleh istrinya Pak Komar, sayur kulit melinjo, ikan asin, lalap timun dan terong, serta sayur jamur. Wuih uenaknya… Istrinya rupanya memang jago masak, atau memang lagi lapar berat? He he he… Gabungan keduanya.

Sehabis makan, kami kembali ke homestay, tidur. Mempersiapkan perjalanan nanti malam menuju Pulau Peucang (Bersambung).