Sungguh, tempat yang sangat mengasyikan. Berbekal informasi dari website, dan seorang kawan, Pak Sofyan. Akhirnya diputuskan untuk berangkat malam itu juga. Sebelumnya ragu, mengingat belum ada yang pernah ke sana. Terlebih daerah tersebut belum pernah dikunjungi lagi, sejak bencana besar Bohorok tahun 2003 yang lalu. Bukit Lawang adalah kawasan wisata yang berkembang karena daya tarik dan pesona alam yang indah. Lokasi ini menjadi terkenal, karena sebagai pusat rehabilitasi orang utan pertama di Sumatera sejak tahun 1980-an. Penduduk lokal di sana menyebut Bukit Lawang sebagai Bohorok. Ketika kami ke sana jalan menuju Bukit Lawang terancam putus menyusul longsornya badan jalan yang berada di Desa Paya Bedi. Kondisi ini membuat jalan ditutup. Sehingga kami harus mencari jalan alternatif. Tetapi jalan alternatif rupanya tidak berhasil, karena kondisi jalan yang sangat parah, tidak bisa dilalui oleh Xenia yang kami tumpangi. Dengan terpaksa balik lagi dan harus menerobos jalan yang ditutup tersebut. Mengingat daerah yang belum pernah dikunjungi, terpaksa minta dipandu oleh penduduk setempat untuk mengantarkan kami ke lokasi tersebut. Sampai di tempat sekitar pkl 12 malam. Dan langsung ke tempat penginapan, Cottage Ecolodge. Ada beberapa pilihan mulai 85 rb, 125 rb, 165 rb, dan 185 rb. Kami pilih yang 125 rb. Lumayan nyaman. Sayangnya terlalu banyak pungutan yang overlaping. Khususnya uang parkir dan uang keamanan. Juga dalam hal memandu turis ke hutan. Tempat yang bagus, tetapi sayang tidak didukung mentalitas penduduk setempat dalam menerima kunjungan wisatawan.
Suara kicauan burung yang bersahutan sangat nikmat untuk didengar dipagi hari. Agak berisik memang, sehingga membangunkan saya, untuk melihat-lihat jenis burung apa gerangan? Tetapi tidak terlihat, padahal suaranya cukup besar. Dikejauhan pun terdengar suara-suara orang hutan yang cukup keras.
Bangun pagi, mandi dan langsung dipandu oleh Pak Silo menuju Hutan. Menyusuri sungai Bohorok, dan sampailah di tempat penyeberangan sungai dengan menggunakan perahu kano. Wah nahkodanya keren abis, ga pake baju. Perjalanan dilanjutkan dengan melapor ke Pos Penjaga kehutanan. Dan lagi-lagi mau diminta bayaran, padahal sebelumnya kami sudah bayar sekaligus ke salah seorang yang tadinya akan mengantar sebagai guide.
Menarik, karena di daerah ini hidup satwa endemic, orang utan,
Pongo abelii. Di seluruh dunia, hanya di daerah ini saja hewan ini hidup. Sehingga tidak mengherankan jika sebagian besar yang berkunjung ke daerah ini adalah turis-turis manca Negara. Sementara turis lokalnya ketika kami berkunjung ke sini, tidak ada sama sekali. Jarak antara Medan dengan Bukit Lawang adalah 89 km dengan jarak tempuh seharusnya 3,5 jam. Seharusnya! karena kami sendiri ke sini memakan waktu sekitar 5 jam, karena daerah yang baru pertama kali dikunjungi. Melewati jalan yang berlubang, dengan di kiri kanan jalan adalah kebun kelapa sawit dan karet. Cukup menyeramkan. Sukurlah, akhirnya sampai juga, sekalipun ketika menerobos daerah longsoran, dengan jarak hanya sejengkal saja ke sungai. Kalau slip, pasti langsung nyemplung. Sebetulnya daerah ini sangat berpotensi sekali untuk dikembangkan sebagai obyek wisata (ecotourism). Tetapi sayang, sepertinya sejak tahun 2003 hingga saat ini tidak ada upaya-upaya perbaikan. Hal yang perlu diperbaiki adalah :
1. Akses jalan menuju ke sana, harus diperbaiki.
2. Perbaiki mentalitas penduduk di sana, untuk bisa menerima kehadiran wisatawan.
3. Penginapan-penginapan perlu ditertibkan, tidak perlu terlalu banyak dan jangan berada di sisi aliran sungai. Selain berbahaya, juga merusak ekosistem.
4. Berdayakan masyarakat sekitar, untuk menjadi pemandu yang profesional, penjual souvenir, dsb.
5. Buat website yang keren, dan pasarkan daerah tersebut melalui website.
6. Buat kegiatan-kegiatan yang spektakuler, dan publikasikan untuk menarik minat wisatawan.
Sayang, ketika saya kesana mencari-cari souvenir tetapi tidak diperoleh.